• Pages

      Monday, December 15, 2014

      Bahasa, Hakikat dan Fungsinya


      Oleh ; Kusnadi

      1.      Bahasa
      Bahasa menjadi bagian terpenting dalam kehidupan, karena bahasa merupakan ruh atau jiwa bagi kehidupan manusia. Tanpa adanya bahasa dalam aktivitas manusia, maka terjadi kelumpuhan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya sarana yang menyatukan pikiran, perasaan, dan komunikasi yang terjalin melalui gagasan-gagasan antar manusia yang diutarakan melalui bahasa. Oleh karena itu, manusia tidak lepas dari bahasa dalam melakukan segala interaksi sosialnya.
      Hasil karya indera manusia yang digunakan untuk menghubungkan dirinya dengan alam sekitar adalah bahasa. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pateda (1994:5) bahwa bahasa adalah bunyi-bunyi yang dikeluarkan oleh alat bicara manusia dan harus bermakna. Dengan demikian,  bahasa adalah alat yang ampuh untuk menghubungkan dunia seseorang dengan dunia di luar manusia, dunia seseorang dengan lingkungannya, dunia seseorang dengan alamnya, bahkan dunia seseorang dengan tuhannya.  
      Kaitannya dengan pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia, yaitu bertemali dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam  masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing. Pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur (speech) daripada aspek bahasa (language).
      Bahasa merupakan alat pemenuh kebutuhan yang harus ada dalam kehidupan bermasyarakat, karena setiap kegiatan yang dilakukan tidak dapat terlepas dari bahasa. Mulai dari seorang manusia lahir telah diperkenalkan dengan bahasa. Pendapat tersebut sesuai dengan Rohmadi (2011:110-111), bahwa bahasa merupakan wahana komunikasi yang paling efektif bagi manusia untuk menjalin hubungan. Sebagai wahana komunikasi, bahasa tidak dapat dipisahkan dari masyarakat  pemakainya.  Sehingga bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, tetapi dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat. Karena setiap kegiatan masyarakat, mulai dari upacara pemberian nama bayi baru lahir sampai upacara pemakaman, tentu tidak terlepas dari penggunaan bahasa. Oleh karena itu, bahasa sebagai ujaran mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara untuk mengidentifikasi kelompok sosial tertentu.
      Pernyataan itu sejalan dengan Soeparno (2002:2-3), bahasa merupakan sesuatu yang harus ada dalam kehidupan manusia, sebab bahasa merupakan satu alat yang paling utama untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Dilihat dari segi linguistik struktural arbitrer yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat. Arbitrer  yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya. Jadi berupa ujaran saja yang dapat disebut bahasa dalam arti sebenarnya. Bentuk-bentuk dan perwujudan lain seperti gerak badan, rambu lalu lintas, bunyi kentongan, tepukan tangan, dan tulisan pada hakikatnya tidak dapat disebut bahasa dalam arti yang sebenarnya.
      Sementara itu Chaer (2004:17) mengemukakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi bagi manusia. Sehingga manusia juga dapat memakai alat lain untuk berkomunikasi, namun bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik bagi manusia. Masyarakat dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama manusia melalui bahasa. Setiap komunikasi saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan maupun emosi secara langsung. Maka dalam proses komunikasi tersebut terjadilah peristiwa tutur dan tindak tutur dalam situasi tutur. Peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi bahasa dalam bentuk ujaran yang melibatkan dua pihak, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi. Kedua gejala tersebut terdapat pada satu proses, yaitu proses komunikasi.
      Menurut Pranowo (2009:3), bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang. Bahkan, bahasa merupakan cermin kepribadian bangsa. Artinya, melalui bahasa (yang digunakan) seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui kepribadiannya. Semakin santun bahasa yang digunakan dalam bertutur masyarakatnya, maka semakin tinggi pula kepribadian bangsa tersebut.
      Cerminan kepribadian seseorang dapat dilihat melalui bahasa yang digunakan dalam bersosialisasi di masyarakatnya. Jika dalam penyampaian informasi berupa gagasan, pikiran, dan maksud dengan terarah dan teratur sehingga dapat dipahami oleh mitra tuturnya maka seseorang tersebut memiliki kepribadian yang santun.
      Sementara itu, menurut chaer dan Leonie (2004:14) Bahasa adalah suatu system dari lambang bunyi yang arbiter yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dapat dipakai oleh masyarakat. Bahasa itu penting dalam kehidupan sebagai makhluk sosial. Bahasa digunakan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan dari seorang kepada orang lain, dengan bahasa manusia mampu memahami pikiran dan pendapat orang lain yang terwujud dalam hasil ujaran.Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan..

      2.      Hakikat Bahasa
      Rustono (1999:47) mengemukakan bahwa Hakikat bahasa adalah bunyi ataupun bahasa lisan yang disampaikan oleh alat ucap manusia, namun tidak semua bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia adalah bahasa. Bahasa itu beragam, artinya meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda. Bahasa bersifat manusiawi. Artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dimiliki manusia.
      Sementara itu, menurut Anderson (dalam Tarigan 2009:2) ada delapan prinsip dasar yang merupakan hakikat bahasa, yaitu (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal (bunyi ujaran), (3) bahasa tersusun dari lambang-lambang mana suka (arbitary symbols), (4) setiap bahasa bersifat unik dan bersifat khas, (5) bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa adalah alat komunikasi, (7) bahasa berhubungan erat dengan budaya tempatnya berada, dan (8) bahasa itu berubah-ubah.
      Sejalan dengan pendapat Anderson,  Brown (dalam Tarigan 2009:3) menyebutkan delapan prinsip dasar yang merupakan hakikat bahasa, yaitu (1) bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, (2) bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer, (3) bahasa adalah vokal, (4) bahasa adalah lambang yang mengandung makna konvensional, (5) bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi, (6) bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa atau budaya, (7) bahasa pada hakikatnya bersifat kemanusiaan, (8) bahasa diperoleh semua orang/bangsa dengan cara yang hampir/banyak persamaan; bahasa dan belajar bahasa mempunyai ciri-kesemestaan.
      Menurut Ismari (1995: 35) masalah penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur. Keberhasilan dalam penggunaan strategi ini menciptakan suasana kesantunan yang memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur. Sehingga memungkinkan untuk adanya pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia.

      3.      Fungsi Bahasa

      Bahasa juga memiliki fungsi-fungsi yang penting dalam bertutur, seperti yang diungkapkan  Wardhaugh (dalam Chaer, 2004:15), bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik tertulis maupun lisan. Dan Michael berpendapat bahwa fungsi bahasa sudah mencakup lima fungsi dasar, yang menurut Kinneavy disebut expression, information, exploration, persuasion, dan entertainment.

      Campur Kode dalam Karya Sastra “Novel”



      Oleh: Kus naedhi

      Konsep alih kode mencakup kejadian jika seseorang beralih dalam ragam fungsi oleh (misal ragam santai) ke ragam lain (misal ragam formal) atau dari satu dialek ke dialek yang lain (Nababan, 1984:31). Suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech atau discource) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode (Nababan, 1984:34).
      Selain dalam dunia nyata, didalam karya satra khususnya novel mengenal adanya campur kode yang merupakan cerminan dari tuturan manusia itu sendiri. Hal tersebut dimaksudkan untuk memunculkan interaksi antar  tokoh di dalam novel.
      Masyarakat pada dasarnya ada yang suka membaca novel dan ada juga yang tidak, karena hanya sekadar hobi. Masyarakat membaca novel hanya ingin mengetahui isi ceritanya saja, tetapi berbeda dengan dunia pendidikan, novel sebagai media pembelajaran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Masyarakat juga belum tahu bahwa bahasa dalam novel terdapat bahasa bilingual dan multilingual.
      Campur kode dibedakan atas campur kode ke dalam dan campur kode keluar. Campur kode ke dalam berupa campur kode yang berasal bahasa asli dengan variasi-variasinya, sedangkan campur kode keluar berupa campur kode bahasa asli dengan bahasa asing. Dalam novel Meretas Ungu campur kode yang digunakan adalah campur kode keluar dan campur kode ke dalam. Campur kode keluar karena menggunakan bahasa asli yaitu bahasa Indonesia dengan bahasa asing, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Arab. Campur kode ke dalam karena menggunakan bahasa asli yaitu bahasa Sunda, Jawa, manado, dan Indonesia.
      Novel Meretas Ungu  karya Pipiet Senja ini  tidak hanya menarik dari segi ceritanya saja, akan tetapi juga menarik dari segi bahasanya karena menggunakan beberapa bahasa seperti bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa, Jawa, dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode dalam novel Meretas Ungu karya Pipiet Senja salah satu diantaranya dalam bahasa Sunda terdapat kata ngaringkep dalam bahasa Indonesia yang artinya mengurung diri. Dengan adanya campur kode tersebut secara kebahasaan menarik untuk diteliti. Dari alasan tersebut di pilih novel Meretas Ungu karya Pipiet Senja sebagai sumber data untuk dijadikan penelitian.

      2.1 Campur Kode
      Campur kode (code mixing) ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu. Sedangkan fungsi kebahasaan seperti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Seorang penutur yang banyak menguasai bahasa akan mempunyai kesempatan bercampur kode lebih banyak dari pada penutur yang hanya menguasai satu dua bahasa saja. Tetapi tidak berarti bahwa penutur yang menguasai lebih banyak bahasa selalu bercampur kode. Sebab apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan pilihan bahasanya.
      Kesamaan yang ada antara alih kode dengan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur, banyak perbedaan antara keduanya. Kalau dalam alih kode, setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi, masing-masing dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Menurut Suwito (1991:88) campur kode merupakan konvergensi kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkn fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
      Menurut Kridalaksana (1993:35) campur kode adalah suatu tindak berbahasa dari bahasa satu ke bahasa lain untuk memperluas ragam bahasa termasuk dalam pemakaian kata, idiom, klausa, sapaan dan lain-lain. Sedangkan menurut Nababan (1984:32) campur kode adalah suatu keadaan bilamana seseorang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada seseorang dalam situasi berbahasa yang menuntut pencampuran itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur atau kebiasaan yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.
      Chaer dan Agustina (2004) menyatakan kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode. Kesamaan tersebut adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Sebenarnya dalam kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode bermacam-macam, antara lain : (1) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan. Kaitannya dengan penelitian ini, adanya pengertian campur kode dan perbedan antara campur kode dan alih kode. Dari penjelasan tersebut, peneliti dapat membedakan tuturan yang mengandung campur kode.
      Sejalan dengan Chaer dan Agustina Thelander (2004) menyatakan bahwa perbedaan alih kode dan campur kode. Menurutnya jika didalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutr, klausa-klausa atau frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa atau frasa campuran, dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Dengan adanya perbedaan pengertian antara campur kode dan alih kode, penelitian ini dapat diuraikan dengan jelas. Namun, penelitian ini hanya membahas mengenai campur kode saja. Dengan adanya perbedaan pengertian antara campur kode dan alih kode peneliti dapat memudahkan penelitian.
      Sementara itu, Fashol (2004:15) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan kalusa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
      Pendapat tersebut diperkuat oleh Nababan (1993) menyatakan bahwa dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik: Suatu Pengantar, membicarakan alih kode dan campur kode. Alih kode mencangkup juga dimana kita beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain atau dari satu dialek ke dialek yang lain, sedangkan campur kode keadaan bilamana orang yang mencampurkan dua atau lebih ragam dalam suatu tindak bahasa itu. Pada campur kode, ada campur kode ke luar, yakni masuknya bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Kadang-kadang penggunaan campur kode keluar ini oleh pembicara ingin menonjolkan “ keterpelajarannya“. Kaitannya dengan penelitian ini, peneliti dapat membedakan penggunaan campur kode. Dalam campur kode, terdapat campur kode ke keluar dan ke dalam. Dengan adanya wujud campur kode ke dalam dan ke luar, penelitian ini dapat di bedakan dengan jelas, antara tuturan yang mengandung campur kode ke dalam dan ke luar.
      Beberapa ahli yang memberi batasan campur kode diantaranya Ashar Umar dan Delvi Napitupulu (1993) dalam bukunya Sosiolinguistik dan Psikolinguistik membicarakan tentang alih kode dan campur kode. Menurutnya alih kode adalah terjadinya peralihan bahasa di dalam peristiwa komunikasi yang sama. Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Adanya pengertian mengenai campur kode dan alih kode, membuat peneliti menjadi mudah dalam mengelompokkan jenis tuturan dalam penelitian ini.
      Menurut Suwito (1999) menyatakan bahwa dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik, membicarakan alih kode dan campur kode. Pada alih kode di bedakan menjadi dua macam, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang di maksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya, sedangkan alih kode ekstern terjadi pada bahasa sendiri dengan bahasa asing. Pada campur kode, dalam kondisi maksimal campur kode merupakan konvergensi yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa, yang masing-masing menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Dengan adanya pernyataan tersebut, tuturan yang menyisipkan campur kode dapat dibedakan dan dijelaskan dengan jelas. Dari penelitian ini, peneliti dapat menggolongkan tuturan tersebut termasuk dalam campur kode ke dalam atau ke luar.
      Dari pendapat diatas, maka campur kode dapat diartikan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih yang di dalam terdapat penyisipan unsur-unsur bahasa. Dengan demikian, campur kode dapat terjadi jika penutur menyisipkan bahasa lain ketika sedang menggunakan bahasa tertentu dalam tuturannya. Penyisipan unsur-unsur tersebut dalam melakukan tuturan berupa berwujud kata, frasa, kelompok kata, perulangan kata, idiom atau ungkapan, dan klausa.

      2.2.2 Ciri – Ciri Campur Kode
      Sebagai akibat dari pemakaian dua bahasa atau lebih dengan masuknya unsur-unsur bahasa kedalam unsur-unsur bahasa yang lain, maka campur kode mempunyai ciri tertentu.
      1.      Adanya aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual;
      2.      Ciri ketergantungan bahasa di tandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya jika seorang dalam tuturannya campur kode, maka harus ditanyakan terlebih dahulu siapa dia;
      3.      Adanya ciri bahasa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipkannya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi;
      4.      Wujud dari komponen campur kode tak pernah sampai berwujud kalimat, melainkan hanya berwujud kata, frasa, klausa, perulangan kata dan idiom;
      5.      Campur kode dalam kondisi yang maksimal merupakan konvegensi kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Akibat unsur-unsur demikian terbagi dua, unsur yang berasal dari bahasa asli dengan segala variasinya disebut dengan campur kode ke dalam, sedangkan yang kedua adalah unsur yang bersumber dari bahasa asing disebut campur kode ke luar;
      6.      Pemilihan bentuk campur kode tertentu kadang-kadang bermaksud untuk menunjukkan status sosial dan pribadinya di dalam masyarakat.

      2.2.3 Wujud Campur Kode                                    
                Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi 5 macam antara lain: (1) penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, (2) penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa, (3) penyisipan unsur-unsur yang berbentuk baster, (4) penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata-kata, (5) penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan, (6) penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa (Muhammad Rohmadi,2006 :171)
      (1)     Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata
      Contoh :Saiki bangga jadi orang sukses .
      “Sekarang bangga jadi orang sukses”.
      Kalimat tersebut terjadi percampuran kode, yaitu kode bahasa Jawa dan kode bahasa Indonesia. Kata saiki menunjukkan bahasa Jawa, sedangkan bangga jadi orang sukses menunjukkan kode bahasa Indonesia.
      (2)   Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa
      Contoh :Persahabatan bapak sudah kadhung apik dengan pak bejo.
      “Persahabatan bapak sudah terlalu baik dengan pak Bejo”.
      Kalimat tersebut terjadi percampuran kode, yaitu kode bahasa Jawa dan kode bahasa Indonesia. Kode bahasa Jawa kadhung apik yang berwujud frasa, sedangkan sederetan kata yang lain menunjukkan kode bahasa Indonesia. Kalimat tersebut tergolong campur kode kedalam, karena seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerah ke dalam bahasa nasional.
      (3)   Penyisipan unsur-unsur yang berwujud berbentuk baster
      Contoh : Hendaknya segera diadakan hutanisasi kembali.
      “Hendaknya segera diadakan penghutanan kembali”.
      Kalimat tersebut terjadi campur kode, karena penyisipan unsur afiks (n)isasi pada kata hutanisasi. Kata hutanisasi terdapat peristiwa pembentukan dengan bentuk dasar bahasa Indonesia hutandan mendapat afiks dari bahasa asing, yaitu (n)isasi. Kalimat tersebut tergolong campur kode keluar, karena terdapat unsur-unsur bahasa yang bersumber dari bahasa asing.
      (4)   Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata.
      Contoh : Dina dari tadi ngguyu-ngguyu terus.
       “Dina dari tadi ketawa-ketawa terus.
      Kalimat tersebut terjadi percampuran kode, yakni kode bahasa Jawa dengan cara mengulang kata. Pada kata ngguya-ngguyu berasal dari kata ngguyu.
      (5)   Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan
      Contoh : Pada zaman modern hendaknya dihindari cara bekerja alon-alon asal klakon.
      “Pada zaman modern hendaknya dihindari cara bekerja pelan-pelan asal dapat berjalan”.
      Kalimat tersebut terjadi percampuran kode, yakni kode bahasa Indonesia dan kode bahasa Jawa. Campur kode dengan unsur-unsur bahasa Jawa alon-alon asal klakon menunjukkan si penutur cukup kuat rasa kejawaannya atau identitas pribadinya sebagai masyarakat Jawa. Ungkapan alon-alon asal klakon, prinsip kerja semacam ini masih dipegang kuat oleh masyarakat Jawa.
      (6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa
      Contoh : Pemimpin yang bijaksana akan bertindak ing ngarso sing tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
      “ Pemimpin yang bijaksana akan bertindak di depan memberikan teladan, ditengah memberikan dorongan, di belakang mengawasi”.
      Kalimat tersebut campur kode terjadi dari kode bahasa Indonesia dan kode bahasa Jawa. Penyisipan unsur-unsur bahasa Jawa ing ngarso sing tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani oleh penutur dapat menunjukkan identifikasi peranan juga keinginan dan tafsiran tertentu.

      2.2.4 Faktor-Faktor Campur Kode
      Faktor-faktor yang mendorong terjadinya campur kode antara lain: (1) identifikasi peran, (2) identifikasi ragam, (3) keinginan menjelaskan dan menafsirkan (Suwito, 1991:90). Dalam hal ini ketiganya saling bergantung. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, regristal dan pendidikan. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Sedangkan keinginan untuk nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungan orang lain terhadapnya. Sebagai misal apabila bercampur kode dengan bahasa Inggris akan terkesan si penutur orang masa kini dan berpendidikan tinggi. Campur kode dengan bahasa Arab, akan terkesan dia orang muslim yang taat beribadah.
      Campur kode di atas bersifat keluar. Sedangkan campur kode ke dalam nampak apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya kedalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya kedalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya kedalam dialeknya. Campur kode dengan unsur-unsur bahasa daerah menunjukkan bahwa si penutur cukup kuat rasa daerahnya.
      Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa campur kode itu terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih campur kode tertentu mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.          

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news