• Pages

      Monday, January 2, 2017

      Cerita Anak-anak




      Anak-anak hidup dalam masa perkembangan, baik fisik maupun mental. Orang tua dan guru wajib membimbing perkembangan anak-anak ke arah yang positif agar kelak mereka menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna dalam kehidupan. Salah satu sarana untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan sastra yang disajikan dalam bentuk cerita yang sesuai dengan perkembangan anak-anak. Cerita anak-anak diciptakan pengarang bukan sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita, melainkan juga untuk menyampaikan nasihat-nasihat atau nilai-nilai pendidikan yang berguna bagi proses perkembangan pendidikan anak-anak.
      1)        Hakikat Cerita Anak-anak
      Anak-anak mengalami perkembangan kejiwaan dari aneka pengaruh, salah satunya adalah cerita anak-anak. Cerita merupakan salah satu bentuk sastra yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri. Berkaitan dengan fungsi sastra sebagai alat pendidikan seperti halnya yang terdapat pada cerita anak-anak Horate dalam Wellek dan Warren berpendapat fungsi karya sastra itu menghibur dan memberikan kegembiraan (dalam Budianta 1996: 25). Cerita yang baik akan menyenangkan bagi anak-anak maupun orang dewasa. Cerita adalah salah satu bentuk sastra yang bisa dibaca atau didengar oleh orang yang tidak bisa membacanya (Majid 2001: 8). Cerita bagi anak-anak sungguh berarti. Selain sebagai bacaan penghibur, ada sisi lain yang bermanfaat baginya ialah sebagai pengasah rasa simpati pada perbuatan baik dalam jiwanya (Sugihastuti 1995: 37).
      Tarigan (1994: 5) berpendapat bahwa anak-anak adalah cerita yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak masa kini, yang dapat dilihat dan dipahami melalui mata anak-anak.
      Menurut Sugihastuti (1996: 70), cerita anak-anak adalah media seni, yang mempunyai ciri-ciri tersendiri sesuai dengan selera penikmatnya. Tidak seorang pengarang cerita anak-anak pun yang sanggup berkarya dengan mengabaikan dunia anak-anak. Dunia anak-anak tidak dapat diremehkan dalam proses kreatifnya. Bahasa cerita anak-anak merupakan wujud dari sebuah proses dialektik yang bertolak dari idiom dunia yang berpikirnya dalam usaha dan perjalananya menjadi orang dewasa. Pada ciri-ciri ini, bahasa anak mengalami perkembangan tersendiri. Pengarang cerita anak, mau tidak mau menciptakan karya mereka dalam semangat bahasa anak-anak. Tanpa pengetahuan yang memadai akan rasa bahasa anak-anak dalam menciptakan karyanya, pengarang cerita anak-anak akan gagal. Hal tersebut senada dengan pendapat Majid (2001: 26) mengatakan para pengarang cerita anak hendaknya memilih kata-kata yang mudah diucapkan dan dipahami oleh anak-anak.
      Dari pengertian itu dapat dikatakan bahwa cerita anak-anak adalah suatu karangan untuk anak berusia dua sampai duabelas tahun yang berkisah tentang terjadinya suatu peristiwa, kejadian dan sebagainya, dan menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang yang dapat dilihat dan dipahami melalui mata anak dan bahasa yang digunakan dalam cerita anak-anak harus disesuaikan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak.
      2)        Jenis Cerita Anak-anak
      Menurut Burhan Nurgiyantoro (2010: 216-303), Cerita merupakan salah satu bentuk sastra yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri. Sedangkan jenis cerita anak-anak adalah:
      a.     Cerita-cerita Fiktif
      Di dalamnya termasuk dongeng umum, Fable, Sage, Legenda, dan Mitos. Cerita semacam Hikayat Panca Tandean, Cerita 1001 Malam, Ali Baba, Aladin, Sinbad Si Pelaut, cerita-cerita anak dan cerita wayang, dapat digolongkan dalam klasifikasi ini. Walaupun jalan ceritanya adalah hasil khayalan semata-mata, tetapi unsur-unsur dalam ceritanya adalah bahan baku yang nyata.
      b.    Cerita-cerita Nonfiktif
      Cerita-cerita ini tidak mengandung unsur khayalan, dan penuh rekayasa/ imajinasi. Pada cerita-cerita ini anak-anak dibawa ke alam dunia nyata.
      c.     Cerita-cerita Informatif
      Dari istilahnya saja kita dapat menarik kesimpulan bahwa cerita semacam ini mengandung informasi atau unsur penerangan. Pihak pembaca bukan saja bisa menikmati sebuah jalan cerita menarik atau mengasyikan, melainkan juga dapat menarik pelajaran praktis dari dalamnya.

      DAFTAR PUSTAKA
      Budianta. 1996. Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak. Jakara: Balai Pustaka.
      Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
      Majid, Abdul Aziz Abdul. 2001. Mendidik Anak Dengan Cerita. Jakarta: Remaja RosdaKarya.
      Sugihastuti. 1995. Serba Serbi Anak. Yogyakarta: Putaka Belajar.

      Friday, October 28, 2016

      SKALA UNTUNG RUGI DALAM KESANTUNAN BAHASA




       
      BAB I
      PENDAHULUAN
                                                                                       
      1.1              Latar Belakang Masalah
      Manusia adalah mahluk individual sekaligus makhluk sosial yang memerlukan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain. Manusia tidak terlepas dari bahasa, baik untuk mengungkapkan gagasan, keinginan, keamarahan dan perasaan-perasaan yang tersimpan dalam pikirannya. Semuanya dapat diungkapkan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa. Bahasa merupakan suatu alat komunikasi dalam interaksi sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu bahasa sebagai alat komunikasi sangat penting dalam kehidupan manusia, karena jika tanpa bahasa setiap orang tidak dapat mengekpresikan pikiran dan perasaan mereka. Adanya bahasa setiap manusia dapat berkomunikasi dan merekspresikan pikiran dan perasana mereka. Keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia memunyai peranan yang sangat penting. Namun, hal itu terkadang kurang begitu dipahami oleh penuturnya, sehingga tidak terasa sebuah peradaban dapat diubah dengan keberadaan suatu bahasa. Di sinilah faktor penutur bahasa menentukan suatu keberadaan suatu bahasa di tengah-tengah kehidupan mereka.

      Hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa Jawa sangat bergantung kepada penuturnya, yang berbahasa ibu bahasa Jawa, di dalam berkomunikasi sehari-hari. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi yang semakin canggih, dan seni membawa para penutur bahasa Jawa mau tidak mau harus berhubungan dengan pemilik bahasa yang lain, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan sebagainya.


       
      Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi yang arbiter yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dapat dipakai oleh masyarakat. Bahasa itu penting dalam kehidupan sebagai makhluk sosial. Bahasa digunakan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan dari seorang kepada orang lain, dengan bahasa manusia mampu memahami pikiran dan pendapat orang lain yang terwujud dalam hasil ujaran. Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan ( Chaer dan Leonie 2004:14 ).
      Hakikat bahasa adalah bunyi ataupun bahasa lisan yang disampaikan oleh alat ucap manusia, namun tidak semua bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia adalah bahasa. Bahasa itu beragam, artinya meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubungan antar anggota. Setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa, dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat. Bahasa bersifat manusiawi. Artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dimiliki manusia (Rustono 1999 : 47 ).
       Suatu bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial, yaitu wacana. Wacana dapat dibedakan menjadi dua, wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan terdapat suatu peristiwa komunikasi yang dilakukan secara lisan antara penutur dan mitra tutur, sedangkan wacana tulis suatu peristiwa komunikasi secara tertulis sebagai sebuah hasil dari pengungkapan ide atau gagasan penutur. Wacana sebagai satuan bahasa yang terlengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana dikatakan lengkap karena di dalamnya terdapat konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau oleh pendengar (dalam wacana lisan). Wacana juga dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragrap, atau karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap (Kridalaksana dalam Mulyana 2005:5).

      Kemampuan seseorang untuk menguasai penggunaan bahasa kedua seperti halnya kemampuan menguasai pengunaan bahasa pertama, kemampuan ini memberi pengertian bahwa dalam segala situasi dan kondisi. Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Latar belakang masyarakat bilingual dan multilingual membuat orang Indonesia mampu berbicara setidaknya dalam dua bahasa. Mereka setidaknya dapat menggunakan paling tidak bahasa daerahnya (bahasa ibu) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pengaruh perkembangan zaman dan masuknya budaya asing, saat ini menjadikan orang mampu berkomunikasi dengan lebih dari satu bahasa. Penguasaan beberapa bahasa tersebut mendorong orang-orang menggunakan berbagai bahasa dalam situasi dan tujuan tertentu. Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut bilingual. Gejala sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang diantaranya pendidikan, umur, ekonomi, dan jenis kelamin dan situasional. faktor sosial dan situasional akan mempengaruhi dalam komunikasi bahasa, seperti masyarakat Desa Pekuncen yang menggunakan bahasa yang bervariasi (Mackey dalam Chaer 2004:84).
      Pragmatik merupakan ilmu bahasa yang masih tergolong baru bila dilihat dari perkembangannya. Namun demikian, tidak sedikit ahli bahasa yang mulai memberi perhatian secara interinsik terhadap pragmatik hingga mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pragmatik disebabkan semakin tinggi kesadaran para ahli bahasa terhadap pemahaman pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi ( Rahardi 2004:1)
      Setiap tuturan itu terbatas pada kegiatan,atau aspek-aspek secara langsung diatur oleh kaidah atau norma bagi penutur. Tindak tutur dapat terdiri dari satu tindak tutur atau lebih dalam suatu peristiwa tutur dan situasi tutur. Tindak tutur sangat bergantung dengan konteks ketika penutur bertutur. Tindak tutur Tindak tutur merupakan sebagian dari pragmatik adalah ujaran yang dibuat sebagai bagian dari interaksi sosial. Di samping itu tindak tutur merumuskan adanya tiga jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur ilokusi tindak melakukan sesuatu dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk  menginformasikan sesuatu hal. Tindak tutur lokusi tindak tutur yang untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur yang dilakukan oleh penutur  berkaitan dengan perbuatan dalam hubungannya tentang sesuatu dengan mengatakan sesuatu seperti memutuskan, mendoakan, merestui dan menuntut. Tindak tutur perlokusi  tindak tutur perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu, membuat orang lain percaya akan sesuatu dengan mendesak orang lain untuk berbuat sesuatu, atau mempengaruhi orang lain (Hamey dalam Sumarsono 2002:329).
      Kesantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale) menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah tuturan. Makin  tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Kesantunan dalam berbahasa mungkin merupakan horison baru dalam berbahasa, dan sampai saat ini belum dikaji dalam konstelasi linguistik; terkecuali dalam telaah pragmatik. Kesantunan dalam berbahasa, meskipun disebut sebagai horison baru, namun sudah mendapatkan perhatian oleh banyak linguis dan pragmatisis (Rahardi 2009 : 66).


      1.2  Rumusan Masalah
      Berdasarkan  latar belakang penelitian, maka permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut.
      a.    Apasajakah faktor yang mempengaruhi skala untung dalam penggunaan tingkat kesantunan berbahasa pada masyarakat?
      b.    Apasajakah faktor yang mempengaruhi skala rugi dalam dalam penggunaan tingkat kesantunan berbahasa masyarakat?
      c.    Bagaimana wujud skala untung-rugi dalam penggunaan tingkat kesantunan berbahasa masyarakat?

      1.3  Tujuan Penelitian
      Sejalan dengan  masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut.
      a.    Memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi skala untung dalam penggunaan tingkat kesantunan berbahasa  masyarakat?
      b.    Menjelaskan Faktor-faktor apa yang mempengaruhi skala rugi dalam dalam penggunaan tingkat kesantunan berbahasa  masyarakat?
      c.    Mendeskripsikan wujud skala untung-rugi dalam penggunaan tingkat kesantunanberbahasa yang terjadi pada tuturan keluarga masyarakat?

      1.4  Manfaat Hasil Penelitian
      Hasil penelitian ini ada dua yaitu secara praktis dan teoretis.
      a.    Secara Praktis
      Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk  menambah pengembangan teori kebahasaan dan informasi khasanah dalam pengetahuan tentang aspek sosial dan tingkat kesantunan dalam ranah ketetanggaan di masyarakat, dapat memberikan wawasan baru dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pragmatik pada khususnya tindak tutur.

      b.    Secara Teoretis
      Penelitian ini memberikan deskripsi tentang aspek sosial dan tingkat kesantunan di masyarakat. Temuan tersebut diharapkan memberi kontribusi data dasar untuk penelitian lanjutan yang sejenis dan dapat menambah pengetahuan bagi peneliti dan pembaca.


      2.1              Landasan Teoretis
      Subbab ini dikemukakan beberapa teori yang digunakan sebagai landasan penelitian, yaitu. (1) Konsep Pragmatik, (2) Konteks, (3) Kedwibahasaan, (4) Wacana, (4) Skala Kesantunan.

      2.2.1  Konsep Pragmatik 
      Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi, dan bagaimana pragmatik menyelidiki  makna sebagai konteks, bukan sebagai sesuatu yang abstrak dalam komunikasi. Sementara itu dasar-dasar pragmatik menjelaskan bahwa cabang ilmu bahasa yang mempelajari bagaimana satuan bahasa digunakan dalam komunikasi. Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terikat konteks (Wijana 1996: 2-3).

      Firth mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi lain yang relevan dengan hal-hal yang sedang berlangsung. Serta dampak-dampak tindak tutur yang diwujudkan dalam bentuk - bentuk perubahan yang timbul akibat tindakan partisipan (Wijana 1996:5).

      Gunarwan merumuskan ada delapan rumusan tentang pragmatik, yaitu (1) pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, (2) pragmatik adalah kajian mengenai hubungan - hubungan diantara bahasa dan konteks,(3) pragmatik berkaitan dengan topik mengenai aspek-aspek makna ujaran yang tidak dapat dijalaskan dengan mengacu langsung pada persyaratan kebenaran dan kalimat yang diujarkan, (4) pragmatik adalah kajian tentang hubungan-hubungan diantara bahasa dan konteks yang merupakan dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa. (5) pragmatik berkaitan dengan topik mengenai aspek-aspek makna ujaran yang tidak dapat dijelaskan dengan mengacu langsung pada persyaratan kebenaran dan kalimat yang diujarkan, (6) pragmatik adalah kajian tentang hubungan - hubungan di antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa, (7) pragmatik adalah kajian mengenai kemampuan pengguna bahasa untuk menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut (diujarkan), dan (8) pragmatik adalah kajian tentang deiksis (paling tidak sebagian), implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek - aspek struktur wacana ( Gunawan dalam Rustono 1999 :3).

      Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunanan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatar belakangi bahasa itu. Konteks yang dimaksud mencangkup dua hal, yaitu konteks bersifat sosial dan konteks bersifat societal. Konteks sosial adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antar anggota masyarakat terentu, adapun yang dimaksud dengan konteks societal adalah konteks yang factor penentunya adalah kedudukan anggota masyarakat dalam sosial budaya tertentu. dengan demikian, dasar dari munculnya konteks societal adalah kekuasaan sedangkan dasar dari konteks sosial adalah adanya solidaritas (Mey dalam Rahardi 2005:49).

      Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pragmatik secara sederhana dapat dirumuskan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengaji bahasa dalam bentuk komunikasi dengan konteks dan penafsirannya. Terutama kajian suatu bahasa yang mempelajari maksud penggunaan suatu tuturan. Agar tuturan tersebut dapat dipahami oleh penutur dan mitra tutur, dengan demikian tuturan tersebut dapat berjalan dengan baik, lancar dan mudah dipahami. Secara umum bahasa pragmatik yang digunakan berkomunikasi selalu memiliki maksud dan tujuan yang sesuai dengan konteks, sehingga mudah dipahami oleh mitra tutur.

      2.2.2  Tindak Tutur
      Tindak tutur merupakan hal penting didalam kajian pragmatik. Mengujarkan sebuah tuturan tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh), kegiatan melakukan tindakan mengujarkan tuturan itulah yang merupakan suatu tindak tutur atau tindak tutur ujar.

      Peristiwa tutur salah satu peristiwa sosial dari pihak-pihak yang bertutur dalam situasi tertentu dan tujuan tetentu. Teori tindak tutur adalah suatu pandangan yang mempertegas bahwa ungkapan suatu bahasa dapat dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan konteks pada saat terjadinya ungkapan tersebut. Istilah tindak tutur muncul karena didalam mengucapkan sesuatu penutur tidak semata-mata menyatakan tuturan, tapi dalam tuturan tersebut dapat mengandung suatu maksud tuturan itu. Tindak tutur meupakan suatu gejala individual, pisikologis yang bersifat berkelangsungan ditentukan oleh bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu ( Chaer dalam Rohmadi 2010:32).

      Sementara itu, Searle juga membagi tindak tutur menjadi, tiga macam tindakkan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu (locutionary act), (illocutionary act), (perlocutionary act), (Searle dalam Nadar 2009:14).

      1.      Tindak Tutur Lokusi
      Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang melakukan tindakan untuk menyatakan sesuatu. Lokusi semata-mata merupakan tindak tutur atau tindak bertutur, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu di dalam makna kalimat menurut sintaksisnya.

      2.      Tindak Tutur Lokusi
      Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu yang dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur lokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya dan tuturan. Jadi dalam tindak tutur ini mengandung satu tuturan dua maksud, yaitu menginformasikan dan menyuruh melakukan sesuatu.

      3.      Tindak Tutur Perlokusi
      Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengujarannya untuk mempengaruhi mitra tutur. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau pun tidak sengaja dari penuturnya.

      Secara umum fungsi tindak tutur dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu (1) Representatif, (2) Direktif, (3) Ekspresif, (4) Komisif, (5) Deklarasi (Yule 2006 : 92-95).

      1.      Tindak Tutur Representatif
      Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Jenis tindak tutur ini disebut juga tindak tutur asertif. Fungsi tindak tutur ini, seperti menyatakan, melaporkan, memberitahukan, menjelaskan, mempertahankan, menolak dan lain-lain. Tindak menyatakan, mempertahankan maksudnya adalah penutur mengucapkan sesuatu, maka mitra tutur percaya terhadat ujaran penutur. Tindak melaporkan memberitahukan, maksudnya ketika penutur mengujarkan sesuatu, maka penutur percaya bahwa telah terjadi sesuatu. Tindak menolak, menyangkal, maksudnya penutur mengucapkan sesuatu maka mitra tutur percaya bahwa terdapat alasan untuk tidak percaya. Tindak menyetujui, menggakui, maksudnya ketika penutur mengujarkan sesuatu, maka mitra tutur percaya bahwa apa yang diujarkan oleh penutur berbeda dengan apa yang ia inginkan dan berbeda dengan pendapat semula.

      2.      Tindak Tutur Direktif
      Tindak tutur direktif kadang - kadang disebut juga tindak tutur impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.  Tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, perintah, meminta. Direktif mengespresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur, mislnya meminta, memohon, mengajak, bertanya, memerintah, dan menyarankan.

      3.      Tindak tutur ekspresif
      Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berupa tindak meminta maaf, berterimakasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, mengkritik. Penutur mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur baik yang berupa rutinitas maupun yang murni. Perasaan dan pengekspresian penutur untuk jenis situasi tertentu yang dapat berupa tindak penyampaian salam (greeting) yang mengekspresikan rasa senang, karena bertemu dan melihat seseorang, tindak berterimakasih (thanking) yang mengekspresikan rasa syukur, karena telah menerima sesuatu. Tindak meminta maaf (apologizing) mengekspresikan simpati, karena penutur telah melukai atau mengganggu mitra tutur.

      4.      Tindak Tutur Komisif
      Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikatkan penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur yang mengikatkan dirinya untuk penuturnya untuk menyatakan  apa yang disebutkan didalam tuturanya. Berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, merupakan tuturan yang termasuk kedalam tuturan komsitif.

      5.      Tindak Tutur Deklarasi atau  isbati
      Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk melakukan suatu hal(keadaan, status, dan sebagainya)yang baru. Tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membataklan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan, merupakan tuturan deklarasi.
      Tindak tutur adalah kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu. Makna yang dikomukasikan tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur tersebut tetapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif, termasuk aspek-aspek situasional komunikasi.

      2.2.3  Konteks
      Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu meliputi dua macam, yang pertama berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud dan yang kedua berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud itu disebut koteks (co-tex). Sementara itu, konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian lazim disebut konteks (contex) saja.

      konteks merupakan situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu (Mulyana 2005:21)

      Konteks berhubungan dengan situasi bahasa. Konteks mempunyai pengaruh kuat dari makna kata. Konteks adalah sesuatu yang menyertai teks dalam penggunaan bahasa. Konteks berhubungan dengan interaksi penggunaan linguistik dalam suatu ujaran yakni, lawan tutur dan mitra tutur dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer Dan Leonie 2004:47).

      Konteks terdiri dari unsur-unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, peristiwa. Bentuk amanat sebagai unsur konteks antara lain dapat berupa surat, iklan, pemberitahuan, pengumuman. Sementara itu unsur konteks yangberupa sarana adalah wahana komunikasi yang dapat berwujud bersemuka atau melalui telepon, surat, dan televisi. Konteks memiliki peranan yang sangat kuat dalam menentukan maksud penutur dalam berinteraksi dengan lawan tutur (Rohmadi 2010:2).

      Peristiwa tutur ada beberapa faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu. faktor itu berjumlah delapan, yaitu (1) setting atau scene, yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur, (2) participant, yaitu penutur, mitra tutur atau pihak lain, (3) end, yaitu tujuan atau maksud pembicara, (4) act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur didalam peristiwa tutur, (5) key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan didalam mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikan, (6) instrument, yaitu alat atau tulis, melalui telpon dan bersemuka, (7) norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur dan, (8) genere, yaitu jenis kegiatan seperti wawancara, diskusi, kampanye dan sebagainya. Konfigurasi fonem awal nama kedelapan faktor itu membentuk kata speaking ( Hymes dalam Rohmadi 2010 : 30).

      Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan fungsi tertentu didalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur dalam tuturan. Konteks didalam pragmatik itu berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks juga berperan membantu mitra tutur didalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.


      2.2.4 Bilingualisme
      Istilah bilingualism dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan Kedwibahasaan,yang berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau lebih. Untuk dapat menggunakan kedua bahasa, tentunya seseorang harus dapat menguasai kedua bahasa itu. Sedangkan penggunaan kedua bahasa atau dua kode bahasa, orang yang menggunakan kedua bahasa disebut bilingual ( Macky dalam Chaer 2004 : 48).

      Kedwibahasaan adalah prihal pemakaian dua bahasa dan dwibahasawan adalah orang yang dapat berbicara dengan menggunakan dua bahasa (Tarigan 2009:3).

      Kedwibahasaan dianggap sebagai karakteristik pemakaian bahasa, yakni praktik pemakaian bahasa secara bergantian yang dilakukan penutur. Pergantian dalam pemakaian itu dilatarbekalangi dan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindak tutur  (Macky dalam Khotimah 2008 : 20-21).

      Kedwibahasaan adalah milik pribadi bahasawan, sementara bahasa itu sendiri adalah milik masyarakat pemakai bahasa. Penggunaan dua bahasa akan memerlukan dua masyarakat bahasa yang berbeda tetapi tidak harus menjadi suatu masyarakat dwibahasawan. Masyarakat dwibahasawan hanya dapat dianggap sebagai sekelompok orang yang mempunyai alasan unutk menjadi dwibahasawan. Adanya bilingualisme pada tingkat awal (incipient bilinguslism), yaitu yang dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua (Diebold dalam Chaer 2010:86).

      Seorang bilingual tidak perlu seorang dwibahasawan itu secara fasih menggunakan kedua bahasa itu dalam satu situasi yang beraneka, tetapi kalau bisa cukup memahaminya saja. Seorang yang berpengetahuan dua bahasa pun, tanpa dapat mempergunakannya dalam percakapan pergaulannya, juga dianggap sebagai seorang dwibahasawan, dan kemudian dikenal dengan sebutan dwibahasawan pasif. Tetapi Haugen kemudian mengubah pendapatnya dengan menambahkan8bahwa seorang dwibahasawan sekurang-kurangnya juga harus mempelajari dua bahasa, apalagi berbahasa asing. Tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2nya, akan selalu berada pada posisi dibawah pebutur asli bahasa itu (Haugen dalam Chaer 2010:86 -87).

      Kemampuan seseorang untuk menguasai penggunaan bahasa kedua seperti halnya kemampuan menguasai pengunaan bahasa pertama, kemampuan ini memberi pengertian bahwa dalam segala situasi dan kondisi. Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Latar belakang masyarakat bilingual dan multilingual membuat orang Indonesia mampu berbicara setidaknya dalam dua bahasa. Mereka setidaknya dapat menggunakan paling tidak bahasa daerahnya (bahasa ibu) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dari pengertian tesebut, maka kedwibahasaan mengacu kepada dua hal, yakni penggunaan bahasa dan kajian bahasa. Hubungannya dengan penggunaan bahasa, kedwibahasaan berarti penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau masyarakat.


      2.2.5 Konsep Wacana
      Wacana merupakan sebuah tulisan yang teratur menurut urutan yang semestinya. Wacana memuat rentetan yang berhubungan, menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain dan membentuk satu kesatuan informasi.
      wacana merupakan satuan bahasa yang paling lengkap unsurnya. Pendapat ini menghapus pandangan lama bahwa satuan bahasa yang terlengkap adalah kalimat sehingga analisis bahasa terhenti pada kalimat. Sementara itu, dengan pandangan bahwa wacanalah yang merupakan satuan bahasa yang paling lengkap dimulailah analisis terhadap wacana (Kridalaksana dalam Hartono 2000:15).

      wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menguhubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan. Jadi wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku) (Alwi dkk 2003:419)

      Para ahli menyepakati bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam berkomunikasi. Secara berururtan rangkaian bunyi membentuk kata, kemudian rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat dan akhirnya, rangkaian kalimat membentuk wacana (Rani 2006:3).

      Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif, interpretif dan kontekstual. Artinya pemakaian bahasa ini selalu mengandalkan terjadi secara dialogis, perlu adanya kemampuan menginterpresentasikan, dan memahami konteks terjadinya wacana, diperlukan dalam proses menganalisis wacana secara utuh. Sebuah wacana dapat dibangun oleh sebuah kalimat, dua buah kalimat, tiga buah kalimat, atau sekian jumlah kalimat sebuah wacana besar atau cukup besar biasanya dibangun oleh paragraf-paragraf. Setiap paragraf dibangun oleh sejumlah kalimat, yang saling berkaitan, yang membentuk sebuah “pikiran pokok”, dimana terdapat sebuah kalimat pokok atau kalimat utama, ditambah oleh sejumlah kalimat penjelas (Mulyana  2005:21).

      Wacana dapat disebut sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi menggunakan symbol-simbol yang berkaitan dengan interpetasi dan peristiwa-peristiwa didalam system kemasyarakatan yang luas. Komunikasi merupakan alat interaksi sosial, yakni hubungan antara individu atau kelompok dengan individu atau kelompok yang lainnya dalam proses sosial ( Sobur Alex dalam Dharma 2009 : 3).

      Berdasarkan dari beberapa pendapat para ahli maka dapat disimpulkan wacana adalah satuan tertinggi, terbesar, dan terlengkap yang mengungkapkan suatu hal subjek tertentu yang disajikan secara utuh dan koheren, baik berupa lisan maupun tulis. Wacana merupakan satuan bahasa diatas kalimat atau klausa.

      2.2.5.1 Klasifikasi  Wacana
      Klasifikasi atau pembagian wacana sangat tergantung pada aspek dan sudut pandang yang digunakan, berdasarkan jenisnya, membagi wacana menjadi lima jenis, yaitu (1) wacana Naratif, (2) wacana Prosedural, (3) wacana Ekspositorik, (4) wacana Hortatorik, dan (5) Deskriptif. Hasil pemilahan ini kemudian Wacana Naratif (Syamsudin dalam Dharma 2009 : 11-12).

      1.      Wacana Naratif
      Wacana naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan suatu kisah. Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian yang dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri oleh penutup.

      2.       Wacana Prosedural
      Wacana procedural digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu itu berhasil dengan baik.

      3.       Wacana Ekspositorik
      Wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu pokok pikiran. Sebuah pokok pikiran yang dijelaskannya dengan cara menyampaikan uraian bagian- bagian. Kadang-kadang wacana itu dapat berbentuk ilustrasi, perbandingan, dan penentuan cirri-ciri identifikasi.

      4.       Wacana Hortatori
      Wacana hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar tertarik terhadapat pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya ialah mencari pengikut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui, pada hal yang disampaikan dalam wacana tersebut.

      5.      Wacana Deskriptif
      Wacana deskriptif merupakan rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan percakapan antar penuturnya.

      2.2.5.2 Ciri-Ciri dan Sifat Wacana
      Wacana dapat diidentifikasikan berdasarkan cirri dan sifat sebuah wacana, antara lain sebagai berikut.
      a.          Wacana dapat berupa rangkaian ujaran secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur.
      b.         Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek)
      c.          Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, dan lengkap dengan semua situasi pendukungnya.
      d.         Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu.
      e.          Dibentuk oleh unsure segmental dan nonsegmental.

      2.2.5.3 Berdasarkan Media Penyampaian
      Wacana dibedakan menjadi dua berdasarkan cara penghadiranyan, yaitu wacana tulis dan wacana lisan, (1) wacana tulis adalah wacana yang disampaiakan secara tertulis melalui media masa. (2) wacana lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan melalui media lisan. Wacana tulis dipandang lebih akurat karena ada bukti nyata apabila ditanyakan kebenarannya, namum Wacana lisan dipandang kurang akurat karena tidak ada bukti nyata yang dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya. Sementara itu, wacana adalah satuan bahasa yang paling lengakap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awalan dan akhiran yang jelas, saling berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan maupun secara tulisan. Jadi suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai wacana atau bukan bergantung pada keutuhan unsur - unsur makna dan konteks yang melingkupinya (Sumarlam dalam Setyawati 2010 :131-132).

         Mengenai  wacana tulis, ada yang mengkaitkannya dengan written text yang mengimplikasikannya non interactive monolog atau monolog yang tidak interaktif, yaitu monolog yang tidak saling mempengaruhi. Hal ini dapat kita pahami karena apa yang disebut monolog (bicara sendiri) selalu bersifat satu arah. Contoh wacana tulis ini, dapat ditemui dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam koran, majalah, dan buku. Cara mengklasifikasikan jenis wacana sebagai berikut. (Tarigan 2009 : 48-49)
      a)         Berdasarkan tertulis atau tidaknya wacana
      b)        Berdasarkan langsung atau tidaknya pengungkapan wacana
      c)         Berdasarkan cara penuturan wacana.
      Berdasarkan media penyampaianya wacana dibedakan menjadi dua yaitu, wacana tulis dan wacana lisan. Wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan melalui media lisan.  Wacana lisan sering dikaitkan dengan interaktive discourse atau wacana interaktif. Wacana lisan mempunyai sifat sementara dan biasanya interaktif, penutur lebih banyak berasumsi tentang keadaan pengetahuan mutakhir mitra tutur dari pada penulis terhadap pembaca. Wacana lisan terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh yang dapat dipahami oleh pendengar. Wacana lisan sering dikaitkan dengan interaktive discourse atau wacana interaktif. Wacana tulis sering disamakan dengan teks atau naskah, akan tetapi gambar atau lukisan juga dapat dimasukan kedalam jenis wacana. Mengenai  wacana tulis, ada yang mengkaitkannya dengan written text yang mengimplikasikannya monolog yang tidak interaktif. Hal ini dapat kita pahami karena apa yang disebut monolog (bicara sendiri) selalu bersifat satu arah (Mulyana 2005:51-52)


      2.2.6 Skala Kesantunan
      Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan mitra tutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan mitra tutur tetap terjaga apabila masing-masing  peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Kesantunan dianggap sebuah strategi yang digunakan oleh penbicara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penggunaan bahasa secara kontekstual untuk mencapai tujuan si pembicara. Konsep kesantunan ini kemudian dikembangkan menjadi kesantunan bahasa.
      Berdasarkan pada strategi kesantunana, strategi apakan yang hendaknya digunakan penutur agar tuturannya santun. Meskipun demikian dapat dibedakan kesantunan dalam penghormatan, yaitu bahwa penghormatan adalah fungsi sebagai sarana simbolis untuk suatu penghargaan. Kesantunana adalah property yang diasosiasikan bahwa menurut pendengar penutur tidak melampaui hak-hak pendengar dan tidak mengingkari kewajibannya (Rustono 1999 : 66 ).
      kesantunan berbahasa terbagi atas nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan dengan apa yang dilakukannya, dimiliki, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang patut dihargai dan sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai. Muka negatif adalah muka yang mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu( Keith Allan dalam Rahardi 2003 : 24-25).

      Kesantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale) menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah tuturan. Makin  tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Kesantunan dalam berbahasa mungkin merupakan horison baru dalam berbahasa, dan sampai saat ini belum dikaji dalam konstelasi linguistik; terkecuali dalam telaah pragmatik. Kesantunan dalam berbahasa, meskipun disebut sebagai horison baru, namun sudah mendapatkan perhatian oleh banyak linguis dan pragmatisis (Rahardi 2009 : 65).

      Sudah lazim kesantunan diperlakukan sebagai suatu konsep yang tegas, seperti gagasan tingkah laku sosial yang sopan, atau etiket, terdapat dalam budaya. prinsip-prinsip umum yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi sosial dalam suatu budaya khusus. Sebagian dari prinsip-prinsip umum ini termasuk sifat bijaksana, pemurah, rendah hati, dan simpatik terhadap orang lain. Kesopanan dalam interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukan kesadaran tentang wajah orang lain. Pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Menunjukan kesadaran untuk wajah orang lain ketika orang lain itu tampak jauh secara sosial sering didefinisikan dalam kaitannya dengan keakraban, persahabatan, atau kesetiakawanan ( Yule 2006 : 104).
      Teori kesantunan bahasa berkisar pada keuntungan dan kerugian. Keuntungan yaitu keuntungan yang mengacu kepada keuntungan pada citra diri seseorang yang berkeinginan agar apa yang dilakukanya, apa yang dimilikinya, atau apapun nilai yang diyakininya dianggap baik, menyenangkan, dan patut dihargai dimata orang lain. Sedangkan dalam kerugian adalah kerugian yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar dia dihargai dengan jalan penutur membiyarkannya bebes melakukan tindakan ataupun bebas melakukan keharusan suatu pekerjaan (Brown dan Levinson dalam Rahardi 2003 : 63).
      Skala kesantunan sebuah peringkat dalam kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang paling santun. Ada tiga ketentuan yang dapat terpenuhi dalam kesantunannya didalam bertutur dijelaskan sebagai berikut, (a) Skala Formalitas (formality scale), (b) Skala Ketidaktegasan (potionality scale), (c) Skala Kesekawanan ( Robin Lakoff dalam Abdul chaer 2010 : 63-64).
      a)      Skala Formalitas atau formality scale yang menyatakan bahwa peserta penutur dan lawan tutur merasa nyaman dalam melakukan kegiatan bertutur, maka tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh angkuh.
      b)      Skala Ketidaktegasan yang disebut juga skala pilihan atau potionality scale, skala yang menunjukan agar penutur dan lawan tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur. Maka pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak.
      c)      Skala Kesekawanan menujukan bahwa penutur dan lawan tutur agar dapat bersifat santun, kita harus selalu bersikap santun, ramah dan harus selalu mempertahankan pertemanan antara penutur dan lawan tutur.
      Dari beberapa pendapat tentang kesantunan bahasa, dapat disimpulkan bahwa kesantunan berbahasa adalah kesantunan yang dilakukan penutur ketika akan bertutur dengan lawan tutur. Kesantunan yang mengatur tuturan dalam berkomunikasi, agar tujuan yang disampaikan bermaksud santun sehingga proses komunikasi juga berjalan dengan lancar.

      2.2.7  Skala Kesantunan Leech
            Peringkat kesantunan sebuah tuturan dengan memanfaatkan setiap maksim interpersonal. Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech dijelaskan sebagai berikut ( Leech dalam Abdul chaer 2010 : 66-69)
      (1)   Skala kerugian dan keuntungan atau Cost-benefit scale, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.
      (2)   Skala pilihan atau 0ptionality scale, menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap makin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.
      (3)   Skala ketidaklangsungan atau Indirectness scale menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
      (4)   Skala keotoritasan atau Authority scale menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Makin jauh jarak peringkat sosial (rank rating)  antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
      (5)    Skala jarak sosial atau Social distance scale  menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

          prinsip kesantunan didasarkan pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah itu antara lain adalah bidal-bidal  yang berisi nasehat yang harus dipatuhi agar tuturan penutur memenuhi prinsip kesantunan. Secara lengkap Leech mengemukakan prinsip kesantunan yang meliputi enam bidal beserta subbidalnya sebagai berikut ( Leech dalam Rahardi 2003 : 41-55).


      a.       Bidal Ketimbangrasaan (Tact Maxim)
      Bidal ketimbangrasaan di dalam prinsip kesantunan memberikan petunjuk bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya dibebani biaya seringan-ringannya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Bidal ketimbangrasaan ini lazimnya diungkapkan dengan tuturan impositif dan tuturan komisif.

      b.      Bidal Kemurahatian (Generosity Maxim)
      Nasehat yang dikemukakan di dalam bidal kemurahatian adalah bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya diupayakan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sementara itu diri sendiri atau penutur hendaknya berupaya mendapatkan keuntungan yang sekecil-kecilnya. Tuturan yang biasanya mengungkapkan bidal kemurahhatian ini adalah tuturan ekspresif.

      c.       Bidal Keperkenanan (Approbation Maxim)
      Bidal keperkenanan adalah petunjuk untuk meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain. Sebagaimana halnya dengan tuturan kemurahhatian, tuturan yang lazim digunakan selaras dengan bidal keperkenanan ini adalah tuturan ekspresif.

      d.      Bidal Kerendahhatian (Modesty Maxim)
      Nasehat bahwa penutur hendaknya meminimalkan pujian kepada diri sendiri merupakan isi bidal kerendahatian. Bidal ini dimaksudkan sebagai upaya merendahhatian bukan merendahdirikan penutur agar tidak terkesan sombong. Tuturan yang lazim digunakan untuk mengungkapkan bidal ini juga tuturan ekspresif dan tuturan asertif.

      e.       Bidal Kesetujuan (Agrement Maxim)
      Bidal kesetujuan adalah bidal di dalam prinsip kesantunan yang memberikan nasehat untuk meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain.

      f.       Bidal Kesimpatian (Sympathy Maxim)
      Bahwa penutur hendaknya meminimalkan antipati antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan simpati antar diri sendiri dan pihak lain merupakan nasehat bidal kesempatian.

                                                                                        
      3.1               Pendekatan Penelitian
      Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu pendekatan secara teoretis dan pendekatan penelitian secara metodologi. Pendekatan teoretis merupakan pendekatan untuk menguji analisis pragmatik sebagai kajian penelitian ini. Sementara itu pendekatan penelitian secara metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-deskriptif. Pendekatan kualitatif deskriptif adalah pendekatan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang sifat-sifat individu (bukan angka - angka). Hal ini sesuai dengan pendapat yang  mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong dalam Muhammad 2011:30).


      3.3   Wujud Data dan Teknik Penyediaan Data
                              Metode simak dilakukan dengan cara berikut, (a) teknik dasar, (b) teknik lanjutan I rekam, (c) teknik lanjutan II (teknik simak bebas libat cakap), (d) teknik III, (e) teknik lanjutan IV (teknik catat) (Sudaryanto 1993:133).

      a)      Teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sadap. Penyimakan atau metode simak itu diwujudkan dengan kegiatan menyadap. Kegiatan menyadap pertama dilakukan peneliti untuk memperoleh data dari tuturan masyarakat Desa Pekuncen Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan.
      b)      Teknik simak libat cakap adalah kegiatan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang dengan ikut terlibat atau berpartisipasi (sambil menyimak), entah secara aktif atau reseptif, dalam pembicaraan.
      c)      Teknik simak bebas libat cakap adalah kegiatan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan (Kesuma 2007 : 44).
      d) Teknik rekam ini sangat menunjang baik teknik simak libat cakap maupun teknik simak bebas libat cakap. Kegiatan dalam teknik rekam dilakukan dengan merekam tanpa sepengetahuan penutur sebagai sumber data. Perekaman pada penelitian ini dilakukan menggunakan  tape, recorder, dan telepon genggam sebagai alat perekam.
      e) Teknik yang selanjutnya menggunakan teknik catat. Data kebahasaan lisan ditranskripsikan ke dalam bentuk tulis sehingga dapat diidentifikasi. Teknik catat, yaitu mencatat data yang telah diperoleh dan diklafikasikan kedalam kartu data. Proses pencatatan pada kartu data dilanjutkan dengan klasifikasi, yaitu data dipisah-pisah atau dikelompokan sesuai dengan kategori data.

      3.4  Metode dan Teknik Analisis Data
      Penelitian ini menggunakan teknik analisis data, yaitu teknik kualitatif-deskriptif. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode padan dengan teknik pilah. Teknik pilah, yaitu teknik yang digunakan untuk memilah atau memisah data menjadi sebagai unsur, (Sudaryanto 1993:21).

      3.5  Metode Pemaparan Hasil Penelitian    
      Metode yang digunakan dalam pemaparan hasil data pada penelitian ini, yaitu dengan metode informal, karena hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang ada dan secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan berupa perian bahasa yang dituturkan dan penyajian hasil analisis datanya dengan deskripsi verbal dengan kata-kata yang biasa tanpa ada lambang-lambang. Hasil analisis data pada penelitian ini mencakupi bentuk tingkat kesantunan bahasa, bentuk tuturan bahasa, dan faktor-faktor yang mempengaruhi skala untung dan skala rugi dalam masyarakat (Muhamad 2011:299).






       
      DAFTAR PUSTAKA

      Chaer, Adul. 2010 . Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

      Dharma, Aliah Yoce. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung : Yrama Widya.

      Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.

      Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

      Leech, Geoffrey. 2011 . Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.        

      Mahsun, 2005. Metode penulisan Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: RaJawali Pres.

      Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

      Moleong, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
                    Rosdakarya.

      Muhammad. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

      Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

      Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.

       
      Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan Dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Yogyakarta : Erlangga.

      Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Erlangga.

      Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia. Semarang : Kadipiro Surakarta.

      Sudaryat, Yayat. 2008. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.

      Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

      Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI

      Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news