9:52 PM
Unknown
No comments
|
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah
Manusia adalah mahluk individual
sekaligus makhluk sosial yang memerlukan bahasa untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Manusia tidak terlepas dari bahasa, baik untuk mengungkapkan
gagasan, keinginan, keamarahan dan perasaan-perasaan yang tersimpan dalam
pikirannya. Semuanya dapat diungkapkan kepada orang lain dengan menggunakan
bahasa. Bahasa merupakan suatu alat komunikasi dalam interaksi sosial dalam
masyarakat. Oleh karena itu bahasa sebagai alat komunikasi sangat penting dalam
kehidupan manusia, karena jika tanpa bahasa setiap orang tidak dapat
mengekpresikan pikiran dan perasaan mereka. Adanya bahasa setiap manusia dapat
berkomunikasi dan merekspresikan pikiran dan perasana mereka. Keberadaan bahasa dalam kehidupan
manusia memunyai peranan yang sangat penting. Namun, hal itu terkadang kurang
begitu dipahami oleh penuturnya, sehingga tidak terasa sebuah peradaban dapat
diubah dengan keberadaan suatu bahasa. Di sinilah faktor penutur bahasa
menentukan suatu keberadaan suatu bahasa di tengah-tengah kehidupan mereka.
Hal
ini berkaitan dengan keberadaan bahasa Jawa sangat bergantung kepada
penuturnya, yang berbahasa ibu bahasa Jawa, di dalam berkomunikasi sehari-hari.
Namun, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi yang semakin canggih, dan seni
membawa para penutur bahasa Jawa mau tidak mau harus berhubungan dengan pemilik
bahasa yang lain, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan sebagainya.
|
Hakikat bahasa adalah bunyi ataupun
bahasa lisan yang disampaikan oleh alat ucap manusia, namun tidak semua bunyi
yang dihasilkan alat ucap manusia adalah bahasa. Bahasa itu beragam, artinya
meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun
karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang mempunyai latar belakang sosial
dan kebiasaan yang berbeda. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling
hubungan antar anggota. Setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan
alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa, dan tidak
ada pula bahasa tanpa masyarakat. Bahasa bersifat manusiawi. Artinya bahasa
sebagai alat komunikasi verbal yang dimiliki manusia (Rustono 1999 : 47 ).
Suatu bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial, yaitu wacana. Wacana dapat
dibedakan menjadi dua, wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan terdapat
suatu peristiwa komunikasi yang dilakukan secara lisan antara penutur dan mitra
tutur, sedangkan wacana tulis suatu peristiwa komunikasi secara tertulis
sebagai sebuah hasil dari pengungkapan ide atau gagasan penutur. Wacana sebagai
satuan bahasa yang terlengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan
satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana dikatakan lengkap karena di
dalamnya terdapat konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa
dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau oleh pendengar (dalam wacana
lisan). Wacana juga dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragrap,
atau karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap (Kridalaksana dalam
Mulyana 2005:5).
Kemampuan seseorang untuk menguasai
penggunaan bahasa kedua seperti halnya kemampuan menguasai pengunaan bahasa
pertama, kemampuan ini memberi pengertian bahwa dalam segala situasi dan
kondisi. Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasaan. Latar belakang masyarakat bilingual dan multilingual membuat
orang Indonesia mampu berbicara setidaknya dalam dua bahasa. Mereka setidaknya
dapat menggunakan paling tidak bahasa daerahnya (bahasa ibu) dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional. Pengaruh perkembangan zaman dan masuknya
budaya asing, saat ini menjadikan orang mampu berkomunikasi dengan lebih dari
satu bahasa. Penguasaan beberapa bahasa tersebut mendorong orang-orang
menggunakan berbagai bahasa dalam situasi dan tujuan tertentu. Orang yang dapat
menggunakan kedua bahasa disebut bilingual. Gejala
sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial yang diantaranya pendidikan, umur, ekonomi, dan jenis kelamin dan
situasional. faktor sosial dan situasional akan mempengaruhi dalam komunikasi
bahasa, seperti masyarakat Desa Pekuncen yang menggunakan bahasa yang
bervariasi (Mackey dalam Chaer 2004:84).
Pragmatik merupakan ilmu bahasa yang masih tergolong baru
bila dilihat dari perkembangannya. Namun demikian, tidak sedikit ahli bahasa
yang mulai memberi perhatian secara interinsik terhadap pragmatik hingga
mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pragmatik disebabkan semakin tinggi
kesadaran para ahli bahasa terhadap pemahaman pragmatik, yakni bagaimana bahasa
itu digunakan dalam komunikasi ( Rahardi 2004:1)
Setiap
tuturan itu terbatas pada kegiatan,atau aspek-aspek secara langsung diatur oleh
kaidah atau norma bagi penutur. Tindak tutur dapat terdiri dari satu tindak
tutur atau lebih dalam suatu peristiwa tutur dan situasi tutur. Tindak tutur
sangat bergantung dengan konteks ketika penutur bertutur. Tindak tutur Tindak
tutur merupakan sebagian dari pragmatik adalah ujaran yang dibuat sebagai
bagian dari interaksi sosial. Di samping itu tindak tutur merumuskan adanya
tiga jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur ilokusi tindak melakukan sesuatu
dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk menginformasikan sesuatu hal. Tindak tutur
lokusi tindak tutur yang untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur yang dilakukan
oleh penutur berkaitan dengan perbuatan dalam hubungannya tentang sesuatu
dengan mengatakan sesuatu seperti memutuskan, mendoakan, merestui dan menuntut.
Tindak tutur perlokusi tindak tutur
perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu, membuat orang lain percaya
akan sesuatu dengan mendesak
orang lain untuk berbuat sesuatu, atau mempengaruhi orang lain (Hamey dalam
Sumarsono 2002:329).
Kesantunan
pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut
sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Prinsip kesopanan ini berhubungan
dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain
(other). Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Skala kerugian
dan keuntungan (cost-benefit scale) menunjuk
kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur pada sebuah tuturan. Makin
tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap tidak santunlah
tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri
penutur akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Kesantunan dalam berbahasa mungkin
merupakan horison baru dalam berbahasa, dan sampai saat ini belum dikaji dalam
konstelasi linguistik; terkecuali dalam telaah pragmatik. Kesantunan dalam
berbahasa, meskipun disebut sebagai horison baru, namun sudah mendapatkan
perhatian oleh banyak linguis dan pragmatisis (Rahardi 2009 : 66).
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan
yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Apasajakah
faktor yang mempengaruhi skala untung dalam penggunaan tingkat kesantunan
berbahasa pada masyarakat?
b. Apasajakah
faktor yang mempengaruhi skala rugi dalam dalam penggunaan tingkat kesantunan
berbahasa masyarakat?
c. Bagaimana
wujud skala untung-rugi dalam penggunaan tingkat kesantunan berbahasa
masyarakat?
1.3 Tujuan
Penelitian
Sejalan dengan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini sebagai
berikut.
a. Memaparkan
faktor-faktor yang
mempengaruhi skala untung dalam penggunaan tingkat kesantunan berbahasa masyarakat?
b. Menjelaskan
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi skala rugi dalam dalam penggunaan tingkat
kesantunan berbahasa masyarakat?
c. Mendeskripsikan
wujud skala untung-rugi dalam penggunaan tingkat kesantunanberbahasa yang
terjadi pada tuturan keluarga masyarakat?
1.4 Manfaat
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini ada dua yaitu secara praktis
dan teoretis.
a. Secara
Praktis
Hasil penelitian ini
diharapkan mampu memberikan manfaat untuk
menambah pengembangan teori kebahasaan dan informasi khasanah dalam
pengetahuan tentang aspek sosial dan tingkat kesantunan dalam ranah ketetanggaan di masyarakat, dapat memberikan
wawasan baru dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu
pragmatik pada khususnya tindak tutur.
b. Secara
Teoretis
Penelitian ini
memberikan deskripsi tentang aspek sosial dan tingkat kesantunan di masyarakat.
Temuan tersebut diharapkan memberi kontribusi data dasar untuk penelitian
lanjutan yang sejenis dan dapat menambah pengetahuan bagi peneliti dan pembaca.
2.1
Landasan
Teoretis
Subbab ini dikemukakan beberapa teori
yang digunakan sebagai landasan penelitian, yaitu. (1) Konsep Pragmatik, (2)
Konteks, (3) Kedwibahasaan, (4) Wacana, (4) Skala Kesantunan.
2.2.1 Konsep Pragmatik
Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa
digunakan dalam komunikasi, dan bagaimana pragmatik menyelidiki makna sebagai konteks, bukan sebagai sesuatu
yang abstrak dalam komunikasi. Sementara itu dasar-dasar pragmatik menjelaskan
bahwa cabang ilmu bahasa yang mempelajari bagaimana satuan bahasa digunakan
dalam komunikasi. Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah makna
eksternal, makna yang terikat konteks (Wijana 1996: 2-3).
Firth mengemukakan bahwa kajian bahasa
tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi lain yang relevan
dengan hal-hal yang sedang berlangsung. Serta dampak-dampak tindak tutur yang
diwujudkan dalam bentuk - bentuk perubahan yang timbul akibat tindakan
partisipan (Wijana 1996:5).
Gunarwan
merumuskan ada delapan rumusan tentang pragmatik, yaitu (1) pragmatik adalah
kajian mengenai penggunaan bahasa, (2) pragmatik adalah kajian mengenai
hubungan - hubungan diantara bahasa dan konteks,(3) pragmatik berkaitan dengan
topik mengenai aspek-aspek makna ujaran yang tidak dapat dijalaskan dengan
mengacu langsung pada persyaratan kebenaran dan kalimat yang diujarkan, (4)
pragmatik adalah kajian tentang hubungan-hubungan diantara bahasa dan konteks
yang merupakan dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa. (5) pragmatik
berkaitan dengan topik mengenai aspek-aspek makna ujaran yang tidak dapat
dijelaskan dengan mengacu langsung pada persyaratan kebenaran dan kalimat yang
diujarkan, (6) pragmatik adalah kajian tentang hubungan - hubungan di antara
bahasa dan konteks yang merupakan dasar dari penjelasan tentang pemahaman
bahasa, (7) pragmatik adalah kajian mengenai kemampuan pengguna bahasa untuk
menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut (diujarkan), dan
(8) pragmatik adalah kajian tentang deiksis (paling tidak sebagian),
implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek - aspek struktur wacana (
Gunawan dalam Rustono 1999 :3).
Pragmatik adalah ilmu bahasa yang
mempelajari kondisi penggunanan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat
ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatar belakangi bahasa itu. Konteks
yang dimaksud mencangkup dua hal, yaitu konteks bersifat sosial dan konteks
bersifat societal. Konteks sosial adalah konteks yang timbul sebagai akibat
dari munculnya interaksi antar anggota masyarakat terentu, adapun yang dimaksud
dengan konteks societal adalah konteks yang factor penentunya adalah kedudukan
anggota masyarakat dalam sosial budaya tertentu. dengan demikian, dasar dari
munculnya konteks societal adalah kekuasaan sedangkan dasar dari konteks sosial
adalah adanya solidaritas (Mey dalam Rahardi 2005:49).
Berdasarkan beberapa
pendapat para ahli tentang pengertian pragmatik secara sederhana dapat
dirumuskan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengaji bahasa dalam
bentuk komunikasi dengan konteks dan penafsirannya. Terutama kajian suatu
bahasa yang mempelajari maksud penggunaan suatu tuturan. Agar tuturan tersebut
dapat dipahami oleh penutur dan mitra tutur, dengan demikian tuturan tersebut
dapat berjalan dengan baik, lancar dan mudah dipahami. Secara umum bahasa
pragmatik yang digunakan berkomunikasi selalu memiliki maksud dan tujuan yang
sesuai dengan konteks, sehingga mudah dipahami oleh mitra tutur.
2.2.2 Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan hal penting
didalam kajian pragmatik. Mengujarkan sebuah tuturan tertentu dapat dipandang
sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh), kegiatan melakukan
tindakan mengujarkan tuturan itulah yang merupakan suatu tindak tutur atau
tindak tutur ujar.
Peristiwa tutur salah satu peristiwa
sosial dari pihak-pihak yang bertutur dalam situasi tertentu dan tujuan
tetentu. Teori tindak tutur adalah suatu pandangan yang mempertegas bahwa
ungkapan suatu bahasa dapat dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan
konteks pada saat terjadinya ungkapan tersebut. Istilah tindak tutur muncul
karena didalam mengucapkan sesuatu penutur tidak semata-mata menyatakan
tuturan, tapi dalam tuturan tersebut dapat mengandung suatu maksud tuturan itu.
Tindak tutur meupakan suatu gejala individual, pisikologis yang bersifat
berkelangsungan ditentukan oleh bahasa si penutur dalam menghadapi situasi
tertentu ( Chaer dalam Rohmadi 2010:32).
Sementara itu, Searle juga membagi
tindak tutur menjadi, tiga macam
tindakkan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu (locutionary act), (illocutionary act), (perlocutionary act), (Searle dalam
Nadar 2009:14).
1. Tindak
Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur
yang melakukan tindakan untuk menyatakan sesuatu. Lokusi semata-mata merupakan
tindak tutur atau tindak bertutur, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata
dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu di dalam makna kalimat menurut
sintaksisnya.
2. Tindak
Tutur Lokusi
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur
yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu yang dipergunakan
untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur lokusi merupakan tindak tutur yang
mengandung maksud dan fungsi atau daya dan tuturan. Jadi dalam tindak tutur ini
mengandung satu tuturan dua maksud, yaitu menginformasikan dan menyuruh
melakukan sesuatu.
3. Tindak
Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi adalah tindak
tutur yang pengujarannya untuk mempengaruhi mitra tutur. Efek atau daya
pengaruh ini dapat secara sengaja atau pun tidak sengaja dari penuturnya.
Secara umum fungsi tindak tutur dapat
diklasifikasikan menjadi lima, yaitu (1) Representatif, (2) Direktif, (3)
Ekspresif, (4) Komisif, (5) Deklarasi (Yule 2006 : 92-95).
1.
Tindak Tutur Representatif
Tindak tutur representatif adalah tindak
tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Jenis
tindak tutur ini disebut juga tindak tutur asertif. Fungsi tindak tutur ini, seperti menyatakan, melaporkan, memberitahukan,
menjelaskan, mempertahankan, menolak dan lain-lain. Tindak menyatakan,
mempertahankan maksudnya adalah penutur mengucapkan sesuatu, maka mitra tutur
percaya terhadat ujaran penutur. Tindak melaporkan memberitahukan, maksudnya
ketika penutur mengujarkan sesuatu, maka penutur percaya bahwa telah terjadi
sesuatu. Tindak menolak, menyangkal, maksudnya penutur mengucapkan sesuatu maka
mitra tutur percaya bahwa terdapat alasan untuk tidak percaya. Tindak
menyetujui, menggakui, maksudnya ketika penutur mengujarkan sesuatu, maka mitra
tutur percaya bahwa apa yang diujarkan oleh penutur berbeda dengan apa yang ia
inginkan dan berbeda dengan pendapat semula.
2. Tindak Tutur Direktif
Tindak
tutur direktif kadang - kadang disebut juga tindak tutur impositif, yaitu
tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan
yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar melakukan sesuatu,
misalnya menyuruh, perintah, meminta.
Direktif mengespresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan
oleh mitra tutur, mislnya meminta,
memohon, mengajak, bertanya, memerintah, dan menyarankan.
3. Tindak tutur ekspresif
Tindak
tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya
diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap. Tindak
tutur ini berupa tindak meminta maaf, berterimakasih,
menyampaikan ucapan selamat, memuji, mengkritik. Penutur mengekspresikan
perasaan tertentu kepada mitra tutur baik yang berupa rutinitas maupun yang
murni. Perasaan dan pengekspresian penutur untuk jenis situasi tertentu yang
dapat berupa tindak penyampaian salam (greeting) yang mengekspresikan
rasa senang, karena bertemu dan melihat seseorang, tindak berterimakasih (thanking)
yang mengekspresikan rasa syukur, karena telah menerima sesuatu. Tindak meminta
maaf (apologizing) mengekspresikan simpati, karena penutur telah melukai
atau mengganggu mitra tutur.
4. Tindak Tutur Komisif
Tindak
tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikatkan penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur yang
mengikatkan dirinya untuk penuturnya untuk menyatakan apa yang disebutkan didalam tuturanya. Berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan
kesanggupan, merupakan tuturan yang termasuk kedalam tuturan komsitif.
5. Tindak Tutur Deklarasi atau isbati
Tindak
tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tindak tutur yang
dimaksudkan penuturnya untuk melakukan suatu hal(keadaan, status, dan
sebagainya)yang baru. Tuturan dengan maksud mengesahkan,
memutuskan, membataklan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, menggolongkan,
mengangkat, mengampuni, memaafkan, merupakan tuturan deklarasi.
Tindak
tutur adalah kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra tutur dalam
rangka mengkomunikasikan sesuatu. Makna yang dikomukasikan tidak hanya dapat
dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur tersebut tetapi juga
ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif, termasuk
aspek-aspek situasional komunikasi.
2.2.3 Konteks
Konteks
adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu meliputi
dua macam, yang pertama berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan
maksud dan yang kedua berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian.
Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud itu
disebut koteks (co-tex). Sementara itu, konteks yang berupa situasi yang
berhubungan dengan suatu kejadian lazim disebut konteks (contex) saja.
konteks
merupakan situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat
dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan
arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang
melatarbelakangi peristiwa tuturan itu (Mulyana 2005:21)
Konteks berhubungan dengan situasi
bahasa. Konteks mempunyai pengaruh kuat dari makna kata. Konteks adalah sesuatu
yang menyertai teks dalam penggunaan bahasa. Konteks berhubungan dengan
interaksi penggunaan linguistik dalam suatu ujaran yakni, lawan tutur dan mitra
tutur dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu
(Chaer Dan Leonie 2004:47).
Konteks terdiri dari unsur-unsur seperti
situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, peristiwa. Bentuk amanat sebagai
unsur konteks antara lain dapat berupa surat, iklan, pemberitahuan, pengumuman.
Sementara itu unsur konteks yangberupa sarana adalah wahana komunikasi yang
dapat berwujud bersemuka atau melalui telepon, surat, dan televisi. Konteks memiliki
peranan yang sangat kuat dalam menentukan maksud penutur dalam berinteraksi
dengan lawan tutur (Rohmadi
2010:2).
Peristiwa tutur ada beberapa faktor yang
menandai keberadaan peristiwa itu. faktor itu berjumlah delapan, yaitu (1)
setting atau scene, yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur, (2) participant,
yaitu penutur, mitra tutur atau pihak lain, (3) end, yaitu tujuan atau maksud
pembicara, (4) act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur didalam peristiwa
tutur, (5) key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan didalam
mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikan, (6) instrument, yaitu alat
atau tulis, melalui telpon dan bersemuka, (7) norm atau norma, yaitu aturan
permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur dan, (8) genere, yaitu
jenis kegiatan seperti wawancara, diskusi, kampanye dan sebagainya. Konfigurasi
fonem awal nama kedelapan faktor itu membentuk kata speaking ( Hymes dalam
Rohmadi 2010 : 30).
Komponen situasi tutur yang pertama
adalah penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang
yang menyatakan fungsi tertentu didalam peristiwa komunikasi. Sementara itu,
mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur dalam
tuturan. Konteks didalam pragmatik itu berarti semua latar belakang pengetahuan
yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks juga berperan
membantu mitra tutur didalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh
penutur.
2.2.4 Bilingualisme
Istilah bilingualism dalam bahasa
Indonesia disebut juga dengan Kedwibahasaan,yang berkenaan dengan penggunaan
dua bahasa atau lebih. Untuk dapat menggunakan kedua bahasa, tentunya seseorang
harus dapat menguasai kedua bahasa itu. Sedangkan penggunaan kedua bahasa atau
dua kode bahasa, orang yang menggunakan kedua bahasa disebut bilingual ( Macky
dalam Chaer 2004 : 48).
Kedwibahasaan adalah prihal pemakaian
dua bahasa dan dwibahasawan adalah orang yang dapat berbicara dengan
menggunakan dua bahasa (Tarigan 2009:3).
Kedwibahasaan dianggap sebagai
karakteristik pemakaian bahasa, yakni praktik pemakaian bahasa secara
bergantian yang dilakukan penutur. Pergantian dalam pemakaian itu
dilatarbekalangi dan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh
penutur itu dalam tindak tutur (Macky
dalam Khotimah 2008 : 20-21).
Kedwibahasaan adalah milik pribadi bahasawan, sementara bahasa itu
sendiri adalah milik masyarakat pemakai bahasa. Penggunaan dua bahasa akan
memerlukan dua masyarakat bahasa yang berbeda tetapi tidak harus menjadi suatu
masyarakat dwibahasawan. Masyarakat dwibahasawan hanya dapat dianggap sebagai
sekelompok orang yang mempunyai alasan unutk menjadi dwibahasawan. Adanya
bilingualisme pada tingkat awal (incipient bilinguslism), yaitu yang
dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa
kedua (Diebold dalam Chaer 2010:86).
Seorang bilingual tidak perlu seorang dwibahasawan itu secara
fasih menggunakan kedua bahasa itu dalam satu situasi yang beraneka, tetapi
kalau bisa cukup memahaminya saja. Seorang yang berpengetahuan dua bahasa pun,
tanpa dapat mempergunakannya dalam percakapan pergaulannya, juga dianggap
sebagai seorang dwibahasawan, dan kemudian dikenal dengan sebutan dwibahasawan pasif.
Tetapi Haugen kemudian mengubah pendapatnya dengan menambahkan8bahwa seorang dwibahasawan
sekurang-kurangnya juga harus mempelajari dua bahasa, apalagi berbahasa asing.
Tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya, maka
kemampuan bahasa asingnya atau B2nya, akan selalu berada pada posisi dibawah
pebutur asli bahasa itu (Haugen dalam Chaer 2010:86 -87).
Kemampuan seseorang untuk menguasai penggunaan bahasa
kedua seperti halnya kemampuan menguasai pengunaan bahasa pertama, kemampuan
ini memberi pengertian bahwa dalam segala situasi dan kondisi. Istilah bilingualisme
dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Latar belakang masyarakat
bilingual dan multilingual membuat orang Indonesia mampu berbicara setidaknya
dalam dua bahasa. Mereka setidaknya dapat menggunakan paling tidak bahasa
daerahnya (bahasa ibu) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dari
pengertian tesebut, maka kedwibahasaan mengacu kepada dua hal, yakni penggunaan
bahasa dan kajian bahasa. Hubungannya dengan penggunaan bahasa, kedwibahasaan
berarti penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau masyarakat.
2.2.5 Konsep Wacana
Wacana merupakan sebuah tulisan yang
teratur menurut urutan yang semestinya. Wacana memuat rentetan yang
berhubungan, menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain dan membentuk
satu kesatuan informasi.
wacana
merupakan satuan bahasa yang paling lengkap unsurnya. Pendapat ini menghapus
pandangan lama bahwa satuan bahasa yang terlengkap adalah kalimat sehingga
analisis bahasa terhenti pada kalimat. Sementara itu, dengan pandangan bahwa
wacanalah yang merupakan satuan bahasa yang paling lengkap dimulailah analisis
terhadap wacana (Kridalaksana dalam Hartono 2000:15).
wacana
adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menguhubungkan proposisi yang satu
dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan. Jadi wacana dapat
direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku)
(Alwi dkk 2003:419)
Para
ahli menyepakati bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang
digunakan dalam berkomunikasi. Secara berururtan rangkaian bunyi membentuk
kata, kemudian rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk
kalimat dan akhirnya, rangkaian kalimat membentuk wacana (Rani 2006:3).
Wacana
adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif, interpretif dan
kontekstual. Artinya pemakaian bahasa ini selalu mengandalkan terjadi secara
dialogis, perlu adanya kemampuan menginterpresentasikan, dan memahami konteks
terjadinya wacana, diperlukan dalam proses menganalisis wacana secara utuh.
Sebuah wacana dapat dibangun oleh sebuah kalimat, dua buah kalimat, tiga buah
kalimat, atau sekian jumlah kalimat sebuah wacana besar atau cukup besar biasanya
dibangun oleh paragraf-paragraf. Setiap paragraf dibangun oleh sejumlah
kalimat, yang saling berkaitan, yang membentuk sebuah “pikiran pokok”, dimana
terdapat sebuah kalimat pokok atau kalimat utama, ditambah oleh sejumlah
kalimat penjelas (Mulyana 2005:21).
Wacana dapat disebut sebagai
rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi menggunakan
symbol-simbol yang berkaitan dengan interpetasi dan peristiwa-peristiwa didalam
system kemasyarakatan yang luas. Komunikasi merupakan alat interaksi sosial,
yakni hubungan antara individu atau kelompok dengan individu atau kelompok yang
lainnya dalam proses sosial ( Sobur Alex dalam Dharma 2009 : 3).
Berdasarkan
dari beberapa pendapat para ahli maka dapat disimpulkan wacana adalah satuan
tertinggi, terbesar, dan terlengkap yang mengungkapkan suatu hal subjek
tertentu yang disajikan secara utuh dan koheren, baik berupa lisan maupun
tulis. Wacana merupakan satuan bahasa diatas kalimat atau klausa.
2.2.5.1 Klasifikasi
Wacana
Klasifikasi
atau pembagian wacana sangat tergantung pada aspek dan sudut pandang yang
digunakan, berdasarkan jenisnya, membagi wacana menjadi lima jenis, yaitu (1)
wacana Naratif, (2) wacana Prosedural, (3) wacana Ekspositorik, (4) wacana
Hortatorik, dan (5) Deskriptif. Hasil pemilahan ini kemudian Wacana Naratif (Syamsudin dalam Dharma 2009 :
11-12).
1.
Wacana Naratif
Wacana
naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan suatu
kisah. Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian yang dianggap penting sering
diberi tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif umumnya dimulai dengan
alinea pembuka, isi, dan diakhiri oleh penutup.
2. Wacana
Prosedural
Wacana
procedural digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan bagaimana
sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi
persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu itu berhasil
dengan baik.
3. Wacana Ekspositorik
Wacana
ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu pokok pikiran. Sebuah pokok pikiran yang
dijelaskannya dengan cara menyampaikan uraian bagian- bagian. Kadang-kadang
wacana itu dapat berbentuk ilustrasi, perbandingan, dan penentuan cirri-ciri
identifikasi.
4. Wacana Hortatori
Wacana
hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar tertarik
terhadapat pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya ialah
mencari pengikut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui, pada
hal yang disampaikan dalam wacana tersebut.
5. Wacana Deskriptif
Wacana
deskriptif merupakan rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan
sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan percakapan antar
penuturnya.
2.2.5.2
Ciri-Ciri dan Sifat Wacana
Wacana
dapat diidentifikasikan berdasarkan cirri dan sifat sebuah wacana, antara lain
sebagai berikut.
a.
Wacana dapat berupa rangkaian ujaran
secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur.
b.
Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek)
c.
Penyajiannya teratur, sistematis,
koheren, dan lengkap dengan semua situasi pendukungnya.
d.
Memiliki satu kesatuan misi dalam
rangkaian itu.
e.
Dibentuk oleh unsure segmental dan
nonsegmental.
2.2.5.3 Berdasarkan Media Penyampaian
Wacana dibedakan menjadi dua berdasarkan
cara penghadiranyan, yaitu wacana tulis dan wacana lisan, (1) wacana tulis adalah
wacana yang disampaiakan secara tertulis melalui media masa. (2) wacana lisan
adalah wacana yang disampaikan secara lisan melalui media lisan. Wacana tulis
dipandang lebih akurat karena ada bukti nyata apabila ditanyakan kebenarannya,
namum Wacana lisan dipandang kurang akurat karena tidak ada bukti nyata yang
dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya. Sementara itu, wacana adalah satuan
bahasa yang paling lengakap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki
kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awalan dan akhiran yang jelas, saling
berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan maupun secara tulisan.
Jadi suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai
wacana atau bukan bergantung pada keutuhan unsur - unsur makna dan konteks yang
melingkupinya (Sumarlam dalam Setyawati 2010 :131-132).
Mengenai wacana tulis, ada
yang mengkaitkannya dengan written text
yang mengimplikasikannya non interactive
monolog atau monolog yang tidak interaktif, yaitu monolog yang tidak saling
mempengaruhi. Hal ini dapat kita pahami karena apa yang disebut monolog (bicara sendiri) selalu bersifat
satu arah. Contoh wacana tulis ini, dapat ditemui dengan mudah dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya dalam koran, majalah, dan buku. Cara mengklasifikasikan
jenis wacana sebagai berikut. (Tarigan 2009 : 48-49)
a)
Berdasarkan tertulis atau tidaknya
wacana
b)
Berdasarkan langsung atau tidaknya
pengungkapan wacana
c)
Berdasarkan cara penuturan wacana.
Berdasarkan media
penyampaianya wacana dibedakan menjadi dua yaitu, wacana tulis dan wacana
lisan. Wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan
secara lisan melalui media lisan. Wacana lisan sering dikaitkan dengan interaktive
discourse atau wacana interaktif. Wacana lisan mempunyai sifat sementara dan biasanya
interaktif, penutur lebih banyak berasumsi tentang keadaan pengetahuan mutakhir
mitra tutur dari pada penulis terhadap pembaca. Wacana lisan terdapat konsep,
gagasan, pikiran, atau ide yang utuh yang dapat dipahami oleh pendengar. Wacana
lisan sering dikaitkan dengan interaktive discourse
atau wacana interaktif. Wacana tulis sering disamakan dengan
teks atau naskah, akan tetapi gambar atau lukisan juga dapat dimasukan kedalam
jenis wacana. Mengenai wacana tulis, ada
yang mengkaitkannya dengan written text
yang mengimplikasikannya monolog yang tidak interaktif. Hal ini dapat kita
pahami karena apa yang disebut monolog
(bicara sendiri) selalu bersifat satu arah (Mulyana 2005:51-52)
2.2.6 Skala Kesantunan
Kesantunan
berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosional penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan mitra
tutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap
berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur
dan mitra tutur tetap terjaga apabila masing-masing peserta tutur senantiasa tidak saling
mempermalukan. Kesantunan dianggap sebuah strategi yang digunakan oleh
penbicara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penggunaan bahasa secara
kontekstual untuk mencapai tujuan si pembicara. Konsep kesantunan ini kemudian
dikembangkan menjadi kesantunan bahasa.
Berdasarkan
pada strategi kesantunana, strategi apakan yang hendaknya digunakan penutur
agar tuturannya santun. Meskipun demikian dapat dibedakan kesantunan dalam
penghormatan, yaitu bahwa penghormatan adalah fungsi sebagai sarana simbolis
untuk suatu penghargaan. Kesantunana adalah property yang diasosiasikan bahwa
menurut pendengar penutur tidak melampaui hak-hak pendengar dan tidak mengingkari
kewajibannya (Rustono 1999 : 66 ).
kesantunan
berbahasa terbagi atas nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka
positif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan dengan apa yang
dilakukannya, dimiliki, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang patut dihargai
dan sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai. Muka
negatif adalah muka yang mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan
agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan
sesuatu( Keith Allan dalam Rahardi 2003 : 24-25).
Kesantunan
pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut
sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Prinsip kesopanan ini berhubungan
dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain
(other). Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Skala kerugian
dan keuntungan (cost-benefit scale) menunjuk
kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur pada sebuah tuturan. Makin
tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap tidak
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan
diri penutur akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Kesantunan dalam berbahasa mungkin
merupakan horison baru dalam berbahasa, dan sampai saat ini belum dikaji dalam
konstelasi linguistik; terkecuali dalam telaah pragmatik. Kesantunan dalam
berbahasa, meskipun disebut sebagai horison baru, namun sudah mendapatkan
perhatian oleh banyak linguis dan pragmatisis (Rahardi 2009 : 65).
Sudah
lazim kesantunan diperlakukan sebagai suatu konsep yang tegas, seperti gagasan
tingkah laku sosial yang sopan, atau etiket, terdapat dalam budaya.
prinsip-prinsip umum yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi sosial
dalam suatu budaya khusus. Sebagian dari prinsip-prinsip umum ini termasuk
sifat bijaksana, pemurah, rendah hati, dan simpatik terhadap orang lain.
Kesopanan dalam interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk
menunjukan kesadaran tentang wajah orang lain. Pengertian ini, kesopanan dapat
disempurnakan dalam situasi kejauhan dan kedekatan sosial. Menunjukan kesadaran
untuk wajah orang lain ketika orang lain itu tampak jauh secara sosial sering
didefinisikan dalam kaitannya dengan keakraban, persahabatan, atau
kesetiakawanan ( Yule 2006 : 104).
Teori
kesantunan bahasa berkisar pada keuntungan dan kerugian. Keuntungan yaitu
keuntungan yang mengacu kepada keuntungan pada citra diri seseorang yang
berkeinginan agar apa yang dilakukanya, apa yang dimilikinya, atau apapun nilai
yang diyakininya dianggap baik, menyenangkan, dan patut dihargai dimata orang
lain. Sedangkan dalam kerugian adalah kerugian yang mengacu kepada citra diri
orang yang berkeinginan agar dia dihargai dengan jalan penutur membiyarkannya
bebes melakukan tindakan ataupun bebas melakukan keharusan suatu pekerjaan
(Brown dan Levinson dalam Rahardi 2003 : 63).
Skala kesantunan sebuah peringkat
dalam kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang paling
santun. Ada tiga ketentuan yang dapat terpenuhi dalam kesantunannya didalam
bertutur dijelaskan sebagai berikut, (a) Skala Formalitas (formality scale), (b) Skala Ketidaktegasan (potionality scale), (c) Skala Kesekawanan ( Robin Lakoff dalam
Abdul chaer 2010 : 63-64).
a) Skala
Formalitas atau formality scale yang
menyatakan bahwa peserta penutur dan lawan tutur merasa nyaman dalam melakukan
kegiatan bertutur, maka tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan
tidak boleh angkuh.
b) Skala
Ketidaktegasan yang disebut juga skala pilihan atau potionality scale, skala yang menunjukan agar penutur dan lawan
tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur. Maka pilihan dalam bertutur
harus diberikan oleh kedua belah pihak.
c) Skala
Kesekawanan menujukan bahwa penutur dan lawan tutur agar dapat bersifat santun,
kita harus selalu bersikap santun, ramah dan harus selalu mempertahankan
pertemanan antara penutur dan lawan tutur.
Dari
beberapa pendapat tentang kesantunan bahasa, dapat disimpulkan bahwa kesantunan
berbahasa adalah kesantunan yang dilakukan penutur ketika akan bertutur dengan
lawan tutur. Kesantunan yang
mengatur tuturan dalam berkomunikasi, agar tujuan yang disampaikan bermaksud
santun sehingga proses komunikasi juga berjalan dengan lancar.
2.2.7 Skala Kesantunan Leech
Peringkat kesantunan sebuah tuturan dengan
memanfaatkan setiap maksim interpersonal. Kelima macam skala pengukur
kesantunan Leech dijelaskan sebagai berikut ( Leech dalam Abdul chaer 2010 :
66-69)
(1) Skala
kerugian dan keuntungan atau Cost-benefit
scale, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang
diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan
tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan
semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.
(2) Skala
pilihan atau 0ptionality scale,
menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si
penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan
itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan
leluasa, akan dianggap makin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur
dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.
(3) Skala
ketidaklangsungan atau Indirectness scale
menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah
tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud
sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
(4) Skala
keotoritasan atau Authority scale
menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam pertuturan. Makin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang
digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat
jarak status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat
kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
(5) Skala jarak sosial atau Social distance scale
menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur
yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat
jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial
antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang
digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur
dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur.
prinsip
kesantunan didasarkan pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah itu antara lain adalah
bidal-bidal yang berisi nasehat yang
harus dipatuhi agar tuturan penutur memenuhi prinsip kesantunan. Secara lengkap
Leech mengemukakan prinsip kesantunan yang meliputi enam bidal beserta subbidalnya sebagai
berikut ( Leech dalam Rahardi 2003 : 41-55).
a. Bidal Ketimbangrasaan (Tact
Maxim)
Bidal ketimbangrasaan di dalam prinsip kesantunan memberikan
petunjuk bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya dibebani biaya
seringan-ringannya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Bidal
ketimbangrasaan ini lazimnya diungkapkan dengan tuturan impositif dan tuturan
komisif.
b. Bidal Kemurahatian (Generosity
Maxim)
Nasehat yang dikemukakan di dalam bidal kemurahatian adalah bahwa
pihak lain di dalam tuturan hendaknya diupayakan mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya, sementara itu diri sendiri atau penutur hendaknya berupaya
mendapatkan keuntungan yang sekecil-kecilnya. Tuturan yang biasanya
mengungkapkan bidal kemurahhatian ini adalah tuturan ekspresif.
c. Bidal Keperkenanan (Approbation
Maxim)
Bidal keperkenanan adalah petunjuk untuk meminimalkan penjelekan terhadap pihak
lain dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain. Sebagaimana halnya dengan
tuturan kemurahhatian, tuturan yang lazim digunakan selaras dengan bidal
keperkenanan ini adalah tuturan ekspresif.
d. Bidal Kerendahhatian (Modesty
Maxim)
Nasehat bahwa penutur hendaknya meminimalkan pujian kepada diri
sendiri merupakan isi bidal kerendahatian. Bidal ini dimaksudkan sebagai upaya
merendahhatian bukan merendahdirikan penutur agar tidak terkesan sombong.
Tuturan yang lazim digunakan untuk mengungkapkan bidal ini juga tuturan
ekspresif dan tuturan asertif.
e. Bidal Kesetujuan (Agrement
Maxim)
Bidal kesetujuan adalah bidal di dalam prinsip kesantunan yang
memberikan nasehat untuk meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan
pihak lain dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain.
f. Bidal Kesimpatian (Sympathy
Maxim)
Bahwa penutur hendaknya meminimalkan antipati antara diri sendiri
dan pihak lain dan memaksimalkan simpati antar diri sendiri dan pihak lain
merupakan nasehat bidal kesempatian.
3.1
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
ada dua, yaitu pendekatan secara teoretis dan pendekatan penelitian secara
metodologi. Pendekatan teoretis merupakan pendekatan untuk menguji analisis
pragmatik sebagai kajian penelitian ini. Sementara itu pendekatan penelitian
secara metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-deskriptif. Pendekatan
kualitatif deskriptif adalah pendekatan penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang sifat-sifat individu
(bukan angka - angka). Hal ini sesuai dengan pendapat yang mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong dalam
Muhammad 2011:30).
3.3 Wujud Data dan Teknik Penyediaan Data
Metode
simak dilakukan dengan cara berikut, (a) teknik dasar, (b) teknik lanjutan I
rekam, (c) teknik lanjutan II (teknik simak bebas libat cakap), (d) teknik III,
(e) teknik lanjutan IV (teknik catat) (Sudaryanto 1993:133).
a)
Teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
sadap. Penyimakan atau metode simak itu
diwujudkan dengan kegiatan menyadap. Kegiatan menyadap pertama dilakukan
peneliti untuk memperoleh data
dari tuturan masyarakat Desa Pekuncen Kecamatan Wiradesa
Kabupaten Pekalongan.
b)
Teknik simak libat cakap adalah kegiatan
menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang dengan ikut terlibat
atau berpartisipasi (sambil menyimak), entah secara aktif atau reseptif, dalam
pembicaraan.
c)
Teknik simak bebas libat cakap adalah
kegiatan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang tanpa ikut
berpartisipasi dalam proses pembicaraan (Kesuma 2007 : 44).
d) Teknik rekam
ini sangat menunjang baik teknik simak libat cakap maupun teknik simak bebas
libat cakap. Kegiatan dalam teknik rekam dilakukan dengan merekam tanpa
sepengetahuan penutur sebagai sumber data. Perekaman pada penelitian ini
dilakukan menggunakan tape, recorder,
dan telepon genggam sebagai alat perekam.
e) Teknik yang selanjutnya menggunakan teknik
catat. Data kebahasaan lisan ditranskripsikan
ke dalam bentuk tulis sehingga dapat diidentifikasi. Teknik catat, yaitu mencatat data yang telah diperoleh dan diklafikasikan kedalam kartu data. Proses pencatatan pada
kartu data dilanjutkan dengan klasifikasi, yaitu data dipisah-pisah atau dikelompokan sesuai dengan kategori data.
3.4 Metode dan
Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik
analisis data, yaitu teknik kualitatif-deskriptif. Sedangkan metode yang
digunakan adalah metode padan dengan teknik pilah. Teknik pilah, yaitu teknik
yang digunakan untuk memilah atau memisah data menjadi sebagai unsur,
(Sudaryanto 1993:21).
3.5 Metode Pemaparan Hasil Penelitian
Metode yang digunakan dalam pemaparan
hasil data pada penelitian ini, yaitu dengan metode informal, karena hanya
berdasarkan pada fakta atau fenomena yang ada dan secara empiris hidup pada
penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan berupa perian bahasa yang
dituturkan dan penyajian hasil analisis datanya dengan deskripsi verbal dengan
kata-kata yang biasa tanpa ada lambang-lambang. Hasil analisis data pada
penelitian ini mencakupi bentuk tingkat kesantunan bahasa, bentuk tuturan
bahasa, dan faktor-faktor yang mempengaruhi skala untung dan skala rugi dalam
masyarakat (Muhamad 2011:299).
|
Chaer, Adul. 2010 . Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka
Cipta.
Dharma, Aliah Yoce.
2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung
: Yrama Widya.
Kesuma, Tri Mastoyo
Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian
Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Leech,
Geoffrey. 2011 . Prinsip-prinsip
Pragmatik. Jakarta: UI Press.
Mahsun,
2005. Metode penulisan Bahasa Tahapan
Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: RaJawali Pres.
Miles, Matthew B dan A.
Michael Huberman. 1992. Analisis Data
Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy. 2001. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Muhammad. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Sudaryanto.
1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis
Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
|
Rahardi,
Kunjana. 2003. Berkenalan Dengan Ilmu
Bahasa Pragmatik. Yogyakarta : Erlangga.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik kesantunan Imperatif Bahasa
Indonesia. Yogyakarta : Erlangga.
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia.
Semarang : Kadipiro Surakarta.
Sudaryat, Yayat. 2008. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.
Tarigan,
Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik.
Bandung: Angkasa.
Wijana,
I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik.
Yogyakarta: ANDI
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 comments:
Post a Comment