5:33 AM
Unknown
No comments
Oleh: Kus Naedhi
1.
Masyarakat Tutur
Bahasan mengenai masyarakat tutur memang sangat beragam.
Fishman (dalam Chaer, 2004:36) menjelaskan bahwa masyarakat tutur adalah suatu
masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal suatu variasi
bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Lebih lanjut
Chaer, dalam upaya menjelaskan konsep ini menegaskan bahwa suatu masyarakat
tutur yang terdiri dari suatu kelompok orang atau masyarakat yang mempunyai
verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama
terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu,
maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah
masyarakat tutur.
John
Lyons (1970:326) secara garis besar beliau mengatakan bahwa semua orang yang menggunakan
bahasa atau dialek tertentu merupakan masyarakat tutur. Menurut definisi ini,
masyarakat tutur menjadi tumpang tindih sebab ada dwi bahasa individu yang
tidak memerlukan kesatuan sosial atau budaya.
Masyarakat
tutur bilingual pasti sering terjadi kontak bahasa yang satu dengan yang lain.
Kondisi semacam ini dapat mengakibatkan adanya hubungan saling ketergantungan
antar bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Maksudnya dalam masyarakat
bilingual tidak akan pernah mungkin seorang penutur hannya menggunakan satu
bahasa secara murni. Akan tetapi seorang penutur juga akan menggunakan lebih
dari satu bahasa yang dikuasai.
Berdasarkan
pendapat di atas, masyarakat tutur dalam bahasa Indonesia di atas, maka bisa
dikatakan bahwa bisa terjadi suatu masyarakat tutur itu bukanlah suatu
masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat
yang timbul karena rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolis dengan
tetap mengakui kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa
atau variasi bahasa yang digunakan.
2.
Peristiwa Tutur
Setiap
peristiwa interaksi verbal pasti terdapat beberapa faktor yang menjadi peranan
dalam peristiwa itu. Faktor-faktor itu antara lain: penutur (speaker), lawan bicara (hearer), pokok pembicaraan (topik), tempat bicara (setting) dan suasana bicara (situation scenes). Pada saat pemakaian
bahasa, seorang penutur selalu akan memperhitungkan kepada siapa ia berbicara,
dimana, mengenai masalah apa, dan dalam suasana bagaimana. Tempat untuk bicara
dan situasi bicara akan menentukan pula pada pembicaran yang sedang berlangsung.
Jadi sesuai dengan pendapat Chaer (2004:47) yang menyatakan bahwa peristiwa
tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu
bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan
tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Sehubungan
dengan konsep peristiwa tutur, DellHymes (dalam Chaer,2004:48) mengemukakan
adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur yang bila
huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi singkatan SPEAKING. Kedelapan
komponen itu ialah : S (setting), P (participants), E (ands), A (act sequences),
K (key), I (instrumentalies), N (norm),
dan G (genres).
Tempat
(Setting), menunjukkan kepada aspek
tempat dan waktu terjadinya sebuah tuturan. Secara umum faktor setting ini
menunjuk kepada keadaan dan lingkungan fisik tempat tutur terjadi. Suasana tutur berhubungan erat dengan
faktor psikologis sebuah tuturan, karena itu suasana tutur dapat dipakai untuk
menunjuk batasan kultural dan tempat terjadinya tersebut. Jadi, antara tempat
tutur (setting) dengan suasana tutur
(scene) memang berbeda.
Peserta
tutur (Participants) minimal dalam
bertutur ada dua pihak. Pihak pertama adalah sang penutur atau pembicara dan
pihak kedua adalah mitra tutur atau lawan bicara. Pada waktu dan situasi
tertentu bisa juga jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni hadirnya pihak
ketiga atau pendengar.
Tujuan
(Ends) sebuah tuturan dimaksudkan
untuk menyampaikan informasi atau buah pikiran. Tuturan seseorang bisa digunakan
untuk merayu, membujuk, mendapatkan kesan dan sebagainya. Seseorang bertutur
tentu berharap agar apa yang dituturkan tidak menyimpang dari tujuan utamanya.
Pokok
tuturan (Acts) merupakan bagian dari
komponen tutur yang tidak pernah tetap, artinya pokok tuturan itu akan selalu
berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan pada peristiwa tutur. Perubahan pokok
tuturan mempengaruhi bahasa atau kode yang dipilih dalam tutur, sehingga bisa
dikatakan perpindahan pokok tuturan dalam bertutur itu dapat menyebabkan terjadinya
alih kode.
Nada
tutur (Keys) menunjuk pada nada,
cara, dan motivasi suatu tindakan dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur
dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang meliputi nada santai, serius,
tegang, dan kasar. Nada tutur dapat dibedakan menjadi dua : (a) nada tutur yang
bersifat verbal, (b) nada tutur yang bersifat non verbal. Nada tutur verbal
dapat berwujud nada, cara, dan motivasi yang menunjuk pada nada santai, serius,
tegang, singkat, sombong, mengejek, kasar, dan sebagainya. Nada tutur non
verbal dapat berwujud tindakan yang sifatnya paralinguistik yang melibatkan
segala macam bahasa tubuh (body language)
dan isyarat. Bahkan dalam masyarakat tutur Jawa nada non verbal sangat penting
dalam komunikasi, karena merupakan salah satu parameter tata krama dari
seseorang.
Sarana tutur (Instruments)
mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lesan, tertulis,
melalui telegraf atau telepon. Adapun bentuk tutur dapat berwujud bahasa, yakni
bahasa sebagai sistem yang mandiri, dialek, register dan variasi-variasi bahasa
yang lain. Adapun yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat tuturan itu
dapat dimunculkan oleh penutur dan sampai pada mitra tutur.
Norma tutur (Norm)
dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu norma interaksi (interaction norms) dan norma interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norma interaksi menunjukkan
kepada dapat tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan
lawan tutur. Adapun norma interpretasi memungkinkan pihak-pihak yang terlibat
dalam komunikasi untuk memberikan interpretasi terhadap lawan tutur, khususnya
dalam komunikasi dari warga tutur yang berbeda.
Jenis
tutur (Genre) menunjuk kepada jenis
kategori kebahasaan yang sedang dituturkan. Maksudnya adalah jenis tuturan itu menyangkut
kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato, dan semacamnya. Orang yang
berpidato akan berbeda kode dengan orang yang sedang bercerita. Demikian pula
orang yang sedang bercerita, akan berbeda dengan orang yang sedang
bercakap-cakap.
Chaer
(2004:61) yang menyatakan bahwa peristiwa tutur adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan,
di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Pendapat
tersebut diperkuat oleh Suwito
(1991:35) yang menyatakan bahwa setiap peristiwa interaksi verbal selalu
terdapat beberapa faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor
tersebut antara lain: penutur (speaker),
lawan bicara (hearer, receiver),
pokok pembicara (topik), tempat
bicara (setting), suasana bicara (situation scene), dan sebagainya.
Keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala faktor serta peranan
faktor-faktor itu di dalam peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa
tutur.
Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut, disimpulkan bahwa peristiwa tutur merupakan
gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur merupakan gejala
individual, bersifat psikologis, dan berlangsungnya ditentukan oleh kemampuan
bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih
dilihat pada makna atau arti tindakan
dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang
terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
0 comments:
Post a Comment