• Pages

      Monday, December 15, 2014

      Masyarakat Tutur dan Peristiwa Tutur




      Oleh: Kus Naedhi
      1.      Masyarakat Tutur
      Bahasan mengenai masyarakat tutur memang sangat beragam. Fishman (dalam Chaer, 2004:36) menjelaskan bahwa masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal suatu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Lebih lanjut Chaer, dalam upaya menjelaskan konsep ini menegaskan bahwa suatu masyarakat tutur yang terdiri dari suatu kelompok orang atau masyarakat yang mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur.
      John Lyons (1970:326) secara garis besar beliau mengatakan bahwa semua orang yang menggunakan bahasa atau dialek tertentu merupakan masyarakat tutur. Menurut definisi ini, masyarakat tutur menjadi tumpang tindih sebab ada dwi bahasa individu yang tidak memerlukan kesatuan sosial atau budaya.
      Masyarakat tutur bilingual pasti sering terjadi kontak bahasa yang satu dengan yang lain. Kondisi semacam ini dapat mengakibatkan adanya hubungan saling ketergantungan antar bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Maksudnya dalam masyarakat bilingual tidak akan pernah mungkin seorang penutur hannya menggunakan satu bahasa secara murni. Akan tetapi seorang penutur juga akan menggunakan lebih dari satu bahasa yang dikuasai.
      Berdasarkan pendapat di atas, masyarakat tutur dalam bahasa Indonesia di atas, maka bisa dikatakan bahwa bisa terjadi suatu masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolis dengan tetap mengakui kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variasi bahasa yang digunakan.

      2.      Peristiwa Tutur
      Setiap peristiwa interaksi verbal pasti terdapat beberapa faktor yang menjadi peranan dalam peristiwa itu. Faktor-faktor itu antara lain: penutur (speaker), lawan bicara (hearer), pokok pembicaraan (topik), tempat bicara (setting) dan suasana bicara (situation scenes). Pada saat pemakaian bahasa, seorang penutur selalu akan memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, dimana, mengenai masalah apa, dan dalam suasana bagaimana. Tempat untuk bicara dan situasi bicara akan menentukan pula pada pembicaran yang sedang berlangsung. Jadi sesuai dengan pendapat Chaer (2004:47) yang menyatakan bahwa peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
      Sehubungan dengan konsep peristiwa tutur, DellHymes (dalam Chaer,2004:48) mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi singkatan SPEAKING. Kedelapan komponen itu ialah : S (setting), P (participants), E (ands), A (act sequences), K (key), I (instrumentalies), N (norm), dan G (genres).
      Tempat (Setting), menunjukkan kepada aspek tempat dan waktu terjadinya sebuah tuturan. Secara umum faktor setting ini menunjuk kepada keadaan dan lingkungan fisik tempat tutur terjadi. Suasana tutur berhubungan erat dengan faktor psikologis sebuah tuturan, karena itu suasana tutur dapat dipakai untuk menunjuk batasan kultural dan tempat terjadinya tersebut. Jadi, antara tempat tutur (setting) dengan suasana tutur (scene) memang berbeda.
      Peserta tutur (Participants) minimal dalam bertutur ada dua pihak. Pihak pertama adalah sang penutur atau pembicara dan pihak kedua adalah mitra tutur atau lawan bicara. Pada waktu dan situasi tertentu bisa juga jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni hadirnya pihak ketiga atau pendengar.
      Tujuan (Ends) sebuah tuturan dimaksudkan untuk menyampaikan informasi atau buah pikiran. Tuturan seseorang bisa digunakan untuk merayu, membujuk, mendapatkan kesan dan sebagainya. Seseorang bertutur tentu berharap agar apa yang dituturkan tidak menyimpang dari tujuan utamanya.
      Pokok tuturan (Acts) merupakan bagian dari komponen tutur yang tidak pernah tetap, artinya pokok tuturan itu akan selalu berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan pada peristiwa tutur. Perubahan pokok tuturan mempengaruhi bahasa atau kode yang dipilih dalam tutur, sehingga bisa dikatakan perpindahan pokok tuturan dalam bertutur itu dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
      Nada tutur (Keys) menunjuk pada nada, cara, dan motivasi suatu tindakan dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang meliputi nada santai, serius, tegang, dan kasar. Nada tutur dapat dibedakan menjadi dua : (a) nada tutur yang bersifat verbal, (b) nada tutur yang bersifat non verbal. Nada tutur verbal dapat berwujud nada, cara, dan motivasi yang menunjuk pada nada santai, serius, tegang, singkat, sombong, mengejek, kasar, dan sebagainya. Nada tutur non verbal dapat berwujud tindakan yang sifatnya paralinguistik yang melibatkan segala macam bahasa tubuh (body language) dan isyarat. Bahkan dalam masyarakat tutur Jawa nada non verbal sangat penting dalam komunikasi, karena merupakan salah satu parameter tata krama dari seseorang.
      Sarana tutur (Instruments) mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lesan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Adapun bentuk tutur dapat berwujud bahasa, yakni bahasa sebagai sistem yang mandiri, dialek, register dan variasi-variasi bahasa yang lain. Adapun yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat tuturan itu dapat dimunculkan oleh penutur dan sampai pada mitra tutur.
      Norma tutur (Norm) dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu norma interaksi (interaction norms) dan norma interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norma interaksi menunjukkan kepada dapat tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan lawan tutur. Adapun norma interpretasi memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk memberikan interpretasi terhadap lawan tutur, khususnya dalam komunikasi dari warga tutur yang berbeda.
      Jenis tutur (Genre) menunjuk kepada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan. Maksudnya adalah jenis tuturan itu menyangkut kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato, dan semacamnya. Orang yang berpidato akan berbeda kode dengan orang yang sedang bercerita. Demikian pula orang yang sedang bercerita, akan berbeda dengan orang yang sedang bercakap-cakap.
      Chaer (2004:61) yang menyatakan bahwa peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
      Pendapat tersebut diperkuat oleh Suwito (1991:35) yang menyatakan bahwa setiap peristiwa interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor tersebut antara lain: penutur (speaker), lawan bicara (hearer, receiver), pokok pembicara (topik), tempat bicara (setting), suasana bicara (situation scene), dan sebagainya. Keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala faktor serta peranan faktor-faktor itu di dalam peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa tutur.
      Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, disimpulkan bahwa peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan berlangsungnya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna  atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.

      0 comments:

      Post a Comment

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news