5:34 AM
Unknown
No comments
Oleh: Kus naedhi
Konsep alih kode mencakup kejadian jika
seseorang beralih dalam ragam fungsi oleh (misal ragam santai) ke ragam lain
(misal ragam formal) atau dari satu dialek ke dialek yang lain (Nababan, 1984:31). Suatu
keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa
atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech atau discource)
tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa
itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya
yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode (Nababan,
1984:34).
Selain dalam dunia nyata, didalam karya
satra khususnya novel mengenal adanya campur kode yang merupakan cerminan dari
tuturan manusia itu sendiri. Hal tersebut dimaksudkan untuk memunculkan
interaksi antar tokoh di dalam novel.
Masyarakat pada dasarnya ada yang suka
membaca novel dan ada juga yang tidak, karena hanya sekadar hobi. Masyarakat
membaca novel hanya ingin mengetahui isi ceritanya saja, tetapi berbeda dengan
dunia pendidikan, novel sebagai media pembelajaran untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Masyarakat juga belum tahu bahwa bahasa dalam novel terdapat
bahasa bilingual dan multilingual.
Campur kode dibedakan atas campur kode ke dalam dan campur kode keluar. Campur kode ke dalam berupa campur kode yang berasal bahasa asli dengan variasi-variasinya, sedangkan campur kode keluar berupa campur kode bahasa asli dengan bahasa asing. Dalam novel Meretas Ungu campur kode yang digunakan adalah campur kode keluar dan campur
kode ke dalam. Campur kode keluar karena menggunakan bahasa asli yaitu bahasa Indonesia dengan bahasa asing, yaitu bahasa Inggris dan bahasa
Arab. Campur kode ke dalam karena menggunakan bahasa asli yaitu bahasa Sunda,
Jawa, manado, dan Indonesia.
Novel Meretas Ungu karya Pipiet
Senja ini tidak hanya menarik dari segi
ceritanya saja, akan tetapi juga menarik dari segi bahasanya karena menggunakan
beberapa bahasa seperti bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa, Jawa, dan
bahasa Inggris. Penggunaan campur kode dalam novel Meretas Ungu karya Pipiet Senja salah satu
diantaranya dalam bahasa Sunda terdapat
kata ngaringkep dalam bahasa
Indonesia yang artinya mengurung diri.
Dengan adanya campur kode tersebut secara kebahasaan menarik untuk diteliti.
Dari alasan tersebut di pilih novel Meretas Ungu karya Pipiet Senja sebagai
sumber data untuk dijadikan penelitian.
2.1 Campur Kode
Campur
kode (code mixing) ciri-ciri
ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peranan dan
fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa
yang menggunakan bahasa itu. Sedangkan fungsi kebahasaan seperti apa yang hendak dicapai oleh penutur
dengan tuturannya. Seorang penutur yang banyak menguasai bahasa akan mempunyai
kesempatan bercampur kode lebih banyak dari pada penutur yang hanya menguasai
satu dua bahasa saja. Tetapi tidak berarti bahwa penutur yang menguasai lebih
banyak bahasa selalu bercampur kode. Sebab apa yang hendak dicapai oleh penutur
dengan tuturannya sangat menentukan pilihan bahasanya.
Kesamaan
yang ada antara alih kode dengan campur kode adalah digunakannya dua bahasa
atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur,
banyak perbedaan antara keduanya. Kalau dalam alih kode, setiap bahasa atau
ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi, masing-masing
dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Menurut Suwito
(1991:88) campur kode merupakan konvergensi kebahasaan yang unsur-unsurnya
berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkn fungsinya dan
mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Menurut
Kridalaksana (1993:35) campur kode adalah suatu tindak berbahasa dari bahasa
satu ke bahasa lain untuk memperluas ragam bahasa termasuk dalam pemakaian
kata, idiom, klausa, sapaan dan lain-lain. Sedangkan menurut Nababan (1984:32)
campur kode adalah suatu keadaan bilamana seseorang mencampur dua atau lebih
bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada seseorang dalam
situasi berbahasa yang menuntut pencampuran itu. Dalam keadaan demikian, hanya
kesantaian penutur atau kebiasaan yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian
disebut campur kode.
Chaer
dan Agustina (2004) menyatakan kesamaan yang ada antara alih kode dan campur
kode. Kesamaan tersebut adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau varian
dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Sebenarnya dalam kepustakaan
linguistik secara umum penyebab alih kode bermacam-macam, antara lain : (1)
perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke
informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan. Kaitannya dengan
penelitian ini, adanya pengertian campur kode dan perbedan antara campur kode
dan alih kode. Dari penjelasan tersebut, peneliti dapat membedakan tuturan yang
mengandung campur kode.
Sejalan
dengan Chaer dan Agustina Thelander (2004) menyatakan bahwa perbedaan alih kode
dan campur kode. Menurutnya jika didalam suatu peristiwa tutur terjadi
peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa
yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutr,
klausa-klausa atau frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa atau frasa
campuran, dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Dengan adanya
perbedaan pengertian antara campur kode dan alih kode, penelitian ini dapat diuraikan
dengan jelas. Namun, penelitian ini hanya membahas mengenai campur kode saja.
Dengan adanya perbedaan pengertian antara campur kode dan alih kode peneliti
dapat memudahkan penelitian.
Sementara itu, Fashol (2004:15) menawarkan kriteria
gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Kalau seseorang
menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur
kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu
bahasa, dan kalusa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain,
maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Pendapat
tersebut diperkuat oleh Nababan (1993)
menyatakan bahwa dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik: Suatu Pengantar,
membicarakan alih kode dan campur kode. Alih kode mencangkup juga dimana kita
beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain atau dari satu dialek ke
dialek yang lain, sedangkan campur kode keadaan bilamana orang yang
mencampurkan dua atau lebih ragam dalam suatu tindak bahasa itu. Pada campur
kode, ada campur kode ke luar, yakni masuknya bahasa asing ke dalam bahasa
Indonesia. Kadang-kadang penggunaan campur kode keluar ini oleh pembicara ingin
menonjolkan “ keterpelajarannya“. Kaitannya dengan penelitian ini, peneliti
dapat membedakan penggunaan campur kode. Dalam campur kode, terdapat campur
kode ke keluar dan ke dalam. Dengan adanya wujud campur kode ke dalam dan ke
luar, penelitian ini dapat di bedakan dengan jelas, antara tuturan yang
mengandung campur kode ke dalam dan ke luar.
Beberapa
ahli yang memberi batasan campur kode diantaranya Ashar Umar dan Delvi
Napitupulu (1993) dalam bukunya Sosiolinguistik
dan Psikolinguistik membicarakan
tentang alih kode dan campur kode. Menurutnya alih kode adalah terjadinya
peralihan bahasa di dalam peristiwa komunikasi yang sama. Campur kode adalah
pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa
yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Adanya pengertian
mengenai campur kode dan alih kode, membuat peneliti menjadi mudah dalam
mengelompokkan jenis tuturan dalam penelitian ini.
Menurut Suwito (1999) menyatakan bahwa dalam bukunya
yang berjudul Sosiolinguistik, membicarakan alih kode dan campur kode. Pada
alih kode di bedakan menjadi dua macam, yaitu alih kode intern dan alih kode
ekstern. Yang di maksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung
antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau
sebaliknya, sedangkan alih kode ekstern terjadi pada bahasa sendiri dengan
bahasa asing. Pada campur kode, dalam kondisi maksimal campur kode merupakan
konvergensi yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa, yang
masing-masing menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang
disisipinya. Dengan adanya pernyataan tersebut, tuturan yang menyisipkan campur
kode dapat dibedakan dan dijelaskan dengan jelas. Dari penelitian ini, peneliti
dapat menggolongkan tuturan tersebut termasuk dalam campur kode ke dalam atau
ke luar.
Dari
pendapat diatas, maka campur kode dapat diartikan sebagai penggunaan dua bahasa
atau lebih yang di dalam terdapat penyisipan unsur-unsur bahasa. Dengan
demikian, campur kode dapat terjadi jika penutur menyisipkan bahasa lain ketika
sedang menggunakan bahasa tertentu dalam tuturannya. Penyisipan unsur-unsur
tersebut dalam melakukan tuturan berupa berwujud kata, frasa, kelompok kata,
perulangan kata, idiom atau ungkapan, dan klausa.
2.2.2
Ciri – Ciri Campur Kode
Sebagai
akibat dari pemakaian dua bahasa atau lebih dengan masuknya unsur-unsur bahasa
kedalam unsur-unsur bahasa yang lain, maka campur kode mempunyai ciri tertentu.
1.
Adanya
aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual;
2.
Ciri
ketergantungan bahasa di tandai oleh adanya hubungan timbal balik antara
peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa
itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur
dengan tuturannya jika seorang dalam tuturannya campur kode, maka harus
ditanyakan terlebih dahulu siapa dia;
3.
Adanya
ciri bahasa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip dalam
bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah
menyatu dengan bahasa yang disisipkannya dan secara keseluruhan hanya mendukung
satu fungsi;
4.
Wujud
dari komponen campur kode tak pernah sampai berwujud kalimat, melainkan hanya
berwujud kata, frasa, klausa, perulangan kata dan idiom;
5.
Campur
kode dalam kondisi yang maksimal merupakan konvegensi kebahasaan yang
unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang telah menanggalkan fungsinya
dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Akibat unsur-unsur demikian
terbagi dua, unsur yang berasal dari bahasa asli dengan segala variasinya
disebut dengan campur kode ke dalam, sedangkan yang kedua adalah unsur yang
bersumber dari bahasa asing disebut campur kode ke luar;
6.
Pemilihan
bentuk campur kode tertentu kadang-kadang bermaksud untuk menunjukkan status
sosial dan pribadinya di dalam masyarakat.
2.2.3
Wujud Campur Kode
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan
yang terlibat didalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi 5 macam antara
lain: (1) penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, (2) penyisipan unsur-unsur
yang berwujud frasa, (3) penyisipan unsur-unsur yang berbentuk baster, (4)
penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata-kata,
(5) penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan, (6) penyisipan unsur-unsur
yang berwujud klausa (Muhammad Rohmadi,2006 :171)
(1)
Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud kata
Contoh
:Saiki bangga jadi orang sukses .
“Sekarang
bangga jadi orang sukses”.
Kalimat
tersebut terjadi percampuran kode, yaitu kode bahasa Jawa dan kode bahasa
Indonesia. Kata saiki menunjukkan
bahasa Jawa, sedangkan bangga jadi orang sukses menunjukkan kode bahasa Indonesia.
(2)
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud
frasa
Contoh
:Persahabatan bapak sudah kadhung apik
dengan pak bejo.
“Persahabatan
bapak sudah terlalu baik dengan pak Bejo”.
Kalimat tersebut terjadi percampuran kode, yaitu
kode bahasa Jawa dan kode bahasa Indonesia. Kode bahasa Jawa kadhung apik yang berwujud frasa,
sedangkan sederetan kata yang lain menunjukkan kode bahasa Indonesia. Kalimat
tersebut tergolong campur kode kedalam, karena seorang penutur menyisipkan
unsur-unsur bahasa daerah ke dalam bahasa nasional.
(3)
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud
berbentuk baster
Contoh
: Hendaknya segera diadakan hutanisasi
kembali.
“Hendaknya
segera diadakan penghutanan kembali”.
Kalimat
tersebut terjadi campur kode, karena penyisipan unsur afiks (n)isasi pada kata hutanisasi. Kata hutanisasi terdapat
peristiwa pembentukan dengan bentuk dasar bahasa Indonesia hutandan mendapat afiks dari bahasa asing, yaitu (n)isasi. Kalimat
tersebut tergolong campur kode keluar, karena terdapat unsur-unsur bahasa yang
bersumber dari bahasa asing.
(4) Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud perulangan kata.
Contoh
: Dina dari tadi ngguyu-ngguyu terus.
“Dina dari tadi
ketawa-ketawa terus.
Kalimat tersebut
terjadi percampuran kode, yakni kode bahasa Jawa dengan cara mengulang kata.
Pada kata ngguya-ngguyu berasal dari kata ngguyu.
(5) Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud ungkapan
Contoh : Pada
zaman modern hendaknya dihindari cara bekerja alon-alon asal klakon.
“Pada zaman
modern hendaknya dihindari cara bekerja pelan-pelan asal dapat berjalan”.
Kalimat tersebut
terjadi percampuran kode, yakni kode bahasa Indonesia dan kode bahasa Jawa.
Campur kode dengan unsur-unsur bahasa Jawa alon-alon
asal klakon menunjukkan si penutur cukup kuat rasa kejawaannya atau
identitas pribadinya sebagai masyarakat Jawa.
Ungkapan alon-alon asal klakon,
prinsip kerja semacam ini masih dipegang kuat oleh masyarakat Jawa.
(6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa
Contoh :
Pemimpin yang bijaksana akan bertindak ing ngarso sing tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani.
“ Pemimpin yang
bijaksana akan bertindak di depan memberikan teladan, ditengah memberikan
dorongan, di belakang mengawasi”.
Kalimat
tersebut campur kode terjadi dari kode bahasa Indonesia dan kode bahasa Jawa.
Penyisipan unsur-unsur bahasa Jawa ing
ngarso sing tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani oleh
penutur dapat menunjukkan identifikasi peranan juga keinginan dan tafsiran
tertentu.
2.2.4
Faktor-Faktor Campur Kode
Faktor-faktor
yang mendorong terjadinya campur kode antara lain: (1) identifikasi peran, (2)
identifikasi ragam, (3) keinginan menjelaskan dan menafsirkan (Suwito,
1991:90). Dalam hal ini ketiganya saling bergantung. Ukuran untuk identifikasi
peranan adalah sosial, regristal dan pendidikan. Identifikasi ragam ditentukan
oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan
dia di dalam hierarki status sosialnya. Sedangkan keinginan untuk nampak karena
campur kode juga menandai sikap dan hubungan orang lain terhadapnya. Sebagai
misal apabila bercampur kode dengan bahasa Inggris akan terkesan si penutur
orang masa kini dan berpendidikan tinggi. Campur kode dengan bahasa Arab, akan
terkesan dia orang muslim yang taat beribadah.
Campur
kode di atas bersifat keluar. Sedangkan campur kode ke dalam nampak apabila
seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya kedalam bahasa
nasional, unsur-unsur dialeknya kedalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam
dan gayanya kedalam dialeknya. Campur kode dengan unsur-unsur bahasa daerah
menunjukkan bahwa si penutur cukup kuat rasa daerahnya.
Berdasarkan
pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa campur kode itu terjadi karena
adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi
bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu,
cenderung memilih campur kode tertentu mendukung fungsi-fungsi tertentu.
Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status
sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.
0 comments:
Post a Comment