5:18 AM
Unknown
No comments
(Problematika
Minat Baca Pada Anak Dalam Bidang Sastra)
Abstrak:
Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra anak mulai dikenalkan di
tingkat Sekolah Dasar sejak kelas 1. Seperti diibaratkan bagaikan
kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya. Mereka
memulai dari awal dan masih apa adanya. Pada fase tersebut materi
pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra anak hanya mencakup membaca,
menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan
bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar dan ilustrasi yang
nampak disekelilingnya. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola
yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang
signifikan.Tidak
ada hasil yang nyata dan relevan dalam pembelajaran. Seakan-akan
hanya monoton seperti itu terus.
Kata Kunci:
Pembelajaran membaca, monoton, tidak ada hasil.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Wujud
Pendidikan Kita.
Berbagai sinyalemen, dugaan, dan fakta menyatakan bahwa mutu
pendidikan dan pembelajaran di Indonesia rendah, bahkan sangat
rendah. Data Human
Development Index
(HDI) tahun 1999 s.d. 2001 menempatkan Indonesia pada posisi 105 s.d.
109 di antara 175 negara jauh di bawah tiga negara tetangga
Indonesia. Hasil survai Political
and Economic Rick Consultancy (PERC)
yang berpusat di Hongkong menunjukkan bahwa di antara 12 negara yang
disurvai, sistem dan mutu pendidikan Indonesia menempati urutan 12 di
bawah Vietnam (Tim BBE, 2001)
Dalam dunia
pendidikan, pembelajaran membaca terutama membaca bacaan sastra anak
ditujukan agar siswa mampu mengorganisasikan intelektualnya dalam
berpikir dan berpengetahuan luas dalam mengolah kata-katanya dengan
baik, sehingga dapat menjadi acuan dalam menuangkan keinginan,
gagasan, ide, inspirasi, berpengetahuan luas yang dimiliki dalam
bentuk lisan / ucapan dan dapat dituangkan dalam bentuk tulisan,
namun tampaknya belum bisa terwujud sepenuhnya karena minimnya minat
baca pada anak. Terutama membaca sastra. Mengajar;
kerapkali guru mengajar kepada siswanya khususnya pembelajaran
membaca tidak memahami karakteristik siswanya dalam pengolahan
kata-kata, adanya buku pegangan guru tentang sastra anak, tetapi
tidak diajarkan secara maksimal, padahal dunia sastra anak tersebut
banyak manfaatnya. Buku sastra anak dapat juga dijadikan sebagai
pedoman dalam melaksanakan pembelajaran. Buku sastra anak yang
menjadi pegangan guru tersebut tidak ajarkan secara maksimal
dikarenakan terkadang guru lebih suka mengajarkan pelajaran
berbahasanya saja, dan minat menyalurkan sastra kepada siswa kurang.
Inilah cermin guru-guru di Indonesia yang masih terkadang belum
menunjukkan sikap profesionalitasnya saat mengajar. Berperilaku;
inilah
yang membuat pandangan murid menjadi rendah terhadap pelajaran
membaca, pembelajaran membaca sastra tidak pernah menemukan ruang
pengajaran yang berarti selama ini dikarenakan aspek yang mendasar
pada pembelajarannya.
Dapat
dicermati dalam hasil penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan di
Indonesia (BSNP) selama sepuluh tahun terakhir ini juga menunjukkan
bahwa minat baca masyarakat Indonesia kurang. Siswa-siswa Indonesia
tergolong rendah dalam minat bacanya. Berbagai sinyalemen dan dugaan
banyak kalangan yang juga relatif senada. Jika semua dugaan dan data
tersebut cermat dan benar, hal ini merupakan isyarat keterpurukan
mutu pendidikan khususnya mutu pembelajaran Indonesia; isyarat
rendahnya mutu dan prestasi pembelajaran di Indonesia. Rendahnya
kualitas pendidikan khususnya pembelajaran di Indonesia merupakan
cerminan buram akan kurangnya kualitas, tanpa bermaksud mencaci guru
atau menghujat murid, semua harus dianalisis kekuranganya dan
dicarikan solusi yang tepat.
2.
Permasalahan
a. Apa sajakah
yang menjadi kendala dan problematika pembelajaran membaca pada anak
dalam bidang
sastra?
b.
Bagaimanakah solusi dari kendala permasalahan tersebut?
PEMBAHASAN
Selama ini
pengajaran membaca sastra di sekolah cenderung konvesional dan tak
lagi dapat diandalkan untuk pembelajaran pada anak. Pelajaran membaca
sastra hanya diajarkan dalam bentuk skimming
dan scanning
sehingga pemahaman membaca anak sangat buruk dan sering lupa akan
bacaan yang telah dibacanya. Padahal penerapan membaca cepat dan
sepintas tersebut disinyalir tidak efektif diajarkan pada anak. Jika
pengajaran membaca cepat dan sepintas tersebut terus diajarkan ke
siswa, akan berdampak lebih buruk lagi. Pengajaran membaca anak
seharusnya diajarkan dengan penuh riang dan tidak ada unsur
pemaksaan, karena sastra itu bersitat fleksibel / santai sehingga
membuat anak merasakan tertarik untuk lebih mendalami sastra kelak
dikemudian hari. Pola semacam itu jika diterapkan terus saat proses
belajar mengajar hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar
bahasa Indonesia dan sastra. Pada umumnya para siswa menempatkan mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada urutan buncit dalam
pilihan para siswa. Yaitu
setelah pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain.
Jarang
siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin
terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya
dibandingkan dengan mata pelajaran lain.
Dalam
masalah ini, saya menyoroti bahwa adanya metode pengajaran bahasa
yang telah gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para
siswa dalam berbahasa dan membaca. Hal ini disebabkan karena
pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan untuk melatih
kebiasaan berbahasa dan membaca para siswa itu sendiri.
Pembelajaran
membaca sastra;
hanya
sebatas kuncup
bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya.
Pelajaran
Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat Sekolah Dasar sejak
kelas 1. Bagaikan kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan
keindahannya. Mereka memulai dari awal dan masih apa adanya. Pada
fase tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra anak hanya
mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat.
Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar
dan ilustrasi yang nampak disekelilingnya. Sampai ke tingkat-tingkat
selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami
perubahan yang signifikan.Tidak ada hasil yang nyata dan relevan
dalam pembelajaran. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah
membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar
dan mendalami dunia sastra Indonesia.
Kelak setelah
lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa
Indonesia dan pengajaran membaca sastra masih tidak kunjung
menunjukan perubahan yang berarti. Bunga pun masih menjadi kuncup.
Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai
di SMP dan siswa cenderung banyak yang memilih melanjutkan
pendidikannya ke SMK, dikarenakan di SMK banyak diajarkan ketrampilan
yang lebih luas daripada hanya diajarkan teori saja.
Membaca
sastra dan wawasan kepenyairan?
Hal terpokok
dari sebuah pembelajaran bahasa dan sastra anak disertai
kepenyairannya akan terlihat dari aspek yang diajarkan oleh gurunya.
Sasta anak yang lebih digemari adalah dongeng dan puisi. Mereka lebih
memilih dongeng dan puisi dikarenakan lebih menarik untuk dibaca dan
membuat mereka bisa merasakan senang dan tidak membuat mereka
tertekan. Menurut Andre Hardjana (1981: 45) proses penciptaan sebuah
sajak dalam puisi pada hakikatnya adalah proses penyempurnaan
pengalaman puitik penyairnya. Keterkaitan antara membaca sastra dan
wawasan kepenyairan adalah dari sudut pandang nuansa yang fleksibel
dan tidak ada unsur pemaksaan serta bertujuan untuk menghibur dan
menciptakan suasana hidup di dalam pembelajaran. Jika kepenyairan itu
sendiri dijabarkan pada sastra anak, maka pengetahuan anak terhadap
penyair-penyair Indonesia semakin paham, pada masa apakah penyair
tersebut terkenal dan tahun berapakah puisinya dapat terkenal. Anak
akan lebih tahu akan pentingnya belajar membaca sastra sejak masih
anak-anak.
SOLUSI :
Apabila
berbagai permasalahan tersebut dianalisis maka dapat ditarik benang
merah bahwa permasalan minat baca pada anak dalam bidang sastra
disebabkan oleh faktor seputar guru, yang membuat para siswa menjadi
bosan saat pembelajaran karena pembelajarannya monoton dan tidak
efektif. Maka dari berbagai masalah tesebut dapat ditarik beberapa
solusi antara lain:
1. Memberikan
Motivasi dan Budaya Membaca
Tidak adanya
antusiasme yang tinggi, telah membuat pelajaran ini menjadi pelajaran
yang kalah penting dibanding dengan pelajaran lain.
Minat siswa baik yang menyangkut minat baca, maupun minat untuk
mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia semakin tampak menurun. Padahal,
bila kebiasaan membaca sukses diterapkan sejak awal maka seharusnya
saat melangkah ke jenjang selanjutnya, siswa telah dapat
mengungkapkan gagasan dan dasar pemikiran dalam membaca. Pembelajaran
Bahasa Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn
sehari-hari dan guru dapat membimbing para siswa terampil memilih
bacaan maka harus pula dijelaskan bahwa pada dasarnya bacaan itu
terdiri atas:
- bacaan ilmiah.
- bacaan sastra
Khusus
mengenai bacaan sastra, sang guru terlebih dahulu harus mengetahui
prinsip-prinsip dasar sastra, agar dia dapat memberi bimbingan yang
tepat guna; antara lain:
- tujuan pengajaran sastra,
- pengembangan apresiasi sastra,
- kriteria kualitas sastra anak-anak.
Kriteria
masalah ini akan dibicarakan secara singkat dan mengenai tujuan
pengajaran
sastra pada
tingkat Sekolah Dasar, pada prinsipnya harus mencakup empat hal
yaitu:
- memperkaya pribadi,
- mengembangkan pandangan dan pengertian,
- menyebarluaskan kebudayaan,
- memupuk serta meningkatkan apresiasi membaca.
(Greene &
Petty, 1971 : 503).
2.
Pemilihan
sendiri bahan bacaan
Dari
segi para siswa, pemilihan sendiri bahan bacaan ini sampai batas
tertentu secara a
priori
dibatasi oleh kenyataan bahwa sang guru atau beberapa ahli sebelumnya
telah memiliki beberapa buah buku dari antara sejumlah buku yang
tersedia. Banyak siswa yang menganggap bahwa pemilihan sendiri bahan
bacaan adalah solusi jitu untuk mengurangi kejenuhan saat berada di
dalam kelas melalui media bacaan. (Spache
1969).
- Dunia siswa adalah dunia bermain, seharusnya materi pelajaran banyak disajikan melalui permainan.
Paradigma ini
akan memaduakan anatara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan
emosional (EQ), dan Kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan lainya.
Dari perpaduan kecerdasan tersebut, siswa akan menjadi lebih
berkembang dalam berpikir.
- Mengenal siswa.
Anak bukanlah
bejana yang serba sama yang harus diisi dengan minuman atau zat lain.
Agar pelajaran berhasil dengan
baik tiap anak harus mendapat perhatian dan bantuan (Nasution 1997 :
122-123). Guru harus mampu mengenal siswanya. Dengan mengenal siswa
maka guru akan lebih memahami latar belakang dan kesulitan yang
dihadapi oleh siswa sehubungan pemberian solusi sesuai dengan
kebutuhannya.
- Memberi makna terhadap pelajaran.
Merencanakan dengan jelas apa
yang akan dilakukan oleh guru sangat diperlukan dalam proses belajar
mengajar. Tetapi bukan berarti guru menjadi kaku dalam pelaksanaanya
(Underwood 2000:39). Adanya perencanaan membantu guru untuk
mempermudah dalam mengarahkan kegiatan pembelajaran. Seorang guru
harus dapat meyakitkan siswa apa manfaat yang dapat mereka peroleh
setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut.
- Memberi motivasi yang kuat pada siswa.
Pemberian
motivasi sangat berpengaruh pada mental siswa. Kata-kata “bagus”atau
“benar”atau”kamu pintar” bahkan anggukan kepala akan jauh
memberi dorongan daripada sebuah nilai (Underwood 2000: 54). Selain
kata-kata di atas adanya sebuah komentar walaupun sedikit mampu
menunjukkan bahwa guru menaruh perhatian pada hasil kerja siswa.
- Penumbuhan kecerdasan ganda (Multiple Intelligences) pada diri guru.
Salah satu
usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru
bahasa Indonesia adalah dengan cara mengembangkan kecerdasan ganda
yang telah dicetuskan Howard Gardner. Gardner
mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan memecahkan persoalan dan
menghasilkan produk baru dalam suatu latar yang bermacam-macam
dan dalam situasi yang nyata (1983;1993).
Kualitas guru
dapat ditinjau dari dua segi, dari segi proses dan dari segi hasil.
Dari segi proses guru dikatakan berhasil apabila mampu melibatkan
sebagian besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun
sosial daam proses pembelajaran. Di samping itu, dapat dilihat dari
gairah dan semangat mengajarnya, serta adanya percaya diri.
Adapun dari
segi hasil, guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang
diberikannya mampu mengubah perilaku sebagian besar peserta didik ke
arah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik (Usman, 2006). Hal
itu sesuai dengan UU Guru dan Dosen Bab IV Pasal 8 yang
menyatakan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Kecerdasan
ganda berperan penting dalam keberhasilan pembelajaran di sekolah.
Guru sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam dunia
pembelajaran dituntut dapat memahami dan mengembangkan kecerdasan
ganda sebagai bekal untuk meningkatkan kualitas dalam
pembelajaran.
Kualitas guru
bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan dirasakan masih banyak yang
belum memenuhi standar. Parameter profesi bagi seorang guru
yang sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun
2005 adalah guru wajib memiliki loyalitas dan dedikasi,
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, tanggung
jawab, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
- Mengajaran sastra pada anak
Tujuan
mengajarkan sastra pada anak antara lain adalah untuk meningkatkan
apresiasi
sastra
dan dengan demikian memungkinkan para siswa menikmatinya dengan lebih
mantap
dan lebih
mesra. Apresiasi sastra dapat dikembangkan melalui membaca nyaring
dan membaca dalam hati, menyimak serta mendiskusikan cerita-cerita
dan buku-buku. Agar tujuan pengajaran sastra tercapai maka sang guru
harus membimbing para siswa memilih serta membaca buku-buku yang
bernilai serta sesuai dengan tingkat kemampuan membaca mereka.
9.
Meningkatkan apresiasi sastra pada anak
Agar
kita dapat mengembangkan serta meningkatkan apresiasi sastra para
siswa, maka kita harus meningkatkan sejumlah keterampilan. Daftar
keterampilan berikut ini dapat dipergunakan sebagai dasar bagi
perencanaan kurikulum sastra di Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan.
- Memahami tipe-tipe sastra,
- Membedakan prosa dari puisi.
- Membedakan fiksi dari non-fiksi
- Mengenalkan cerita rakyat, fabel, mite.
- Mengenalkan fiksi realistis.
- Mengenalkan fiksi historis.
- Mengenalkan fantasi.
B.
Memahami komponen-komponen
fiksi:
a.
Mengenalkan struktur plot (alur).
b.
Mengenalkan klimaks cerita
c.
Mengenalkan gambaran dan perkembangan tokoh.
d.
Mengenalkan tema cerita.
e.
Mengenalkan latar.
f.
Melukiskan gaya bahasa pengarang.
g.
Mengenalkan sudut pandang (point of view).
C. Memahami
komponen-komponen puisi:
a.
Menentukan maksud pengarang.
b.
Mengevaluasi latar.
c.
Mengevaluasi alur.
d.
Mengevaluasi penokohan, karakterisasi.
e.
Mengevaluasi gaya penulisan.
f.
Mengevaluasi pandangan.
g.
Mengevaluasi tema (Harlin, 1980 : 412, cf. Huck & Kuhn, 1968 :
688 91).
10.
Mengajarkan untuk mengarahkan diri sendiri
Guru
harus bisa mengajarkan para siswanya untuk mengarahkan dirinya
sendiri, dikarenakan mengarahkan diri sendiri itu siswa akan mengerti
kerumitan sesuatu tugas serta menaksir atau memperkirakan waktu dan
upaya yang diperlukan untuk menyelesaikannya secara tuntas. Secara
umum dapat dikatakan bahwa tujuan akhir dari pendidikan dan
pengajaran, termasuk pengajaran keterampilan membaca ini, agar para
siswa dapat berdiri sendiri, dapat mengarahkan dirinya sendiri dengan
tepat guna.
Pada
tingkatan kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar upaya diarahkan pada kegiatan
belajar untuk menjelaskan, memusatkan perhatian pada, serta
menyelesaikan sesuatu tugas. Pada tingkat ini para siswa memperoleh
bimbingan dasar yang penting dari sang guru. Pada tingkatan kelas 5
dan 6, para siswa sudah bekerja secara berdikari, berdiri sendiri
dalam menilai kerumitan sesuatu tugas serta memperkirakan waktu kerja
yang dibutuhkan. Para siswa sudah dapat kita katakan berdiri sendiri
bila mereka sudah dapat mengarahkan dirinya sendiri dalam hal-hal
berikut ini.
a. Memilih
buku-buku yang sesuai dengan kemampuan membaca berdikari dan
memperhalus
keotomatisan.
b. Mengatur
serta menyesuaikan kecepatan membaca dengan tujuan yang hendak
dicapai.
c. Memberi
responsi secara berdikari kepada petunjuk-petunjuk tertulis dalam
suatu tugas.
d.
Memperagakan pengarahan diri sendiri dengan:
1.
mendapatkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan secara
berdikari, dan
2. menata
serta mengatur waktu secara berdikari untuk menyelesaikan sesuatu
tugas
dalam
masa yang telah tersedia.
e.
Memanfaatkan fasilitas-fasilitas perpustakaan secara berdikari yang
sesuai dengan maksud
dan
tujuan pribadi. (Otto & Chester, 1976, 1976 : 166).
C. PENUTUP
- Simpulan
Pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia mulai dikenalkan di tingkat Sekolah Dasar
sejak kelas 1. Seperti
diibaratkan bagaikan kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan
keindahannya. Mereka memulai dari awal dan masih apa adanya. Pada
fase tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra anak hanya
mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat.
Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar
dan ilustrasi yang nampak disekelilingnya. Sampai ke tingkat-tingkat
selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami
perubahan yang signifikan.Tidak ada hasil yang nyata dan relevan
dalam pembelajaran.
Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya
mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa dan Sastra
Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya buku LKS yang
menjadi buku wajib bagi siswanya. Sementara isi dari materinya
terlalu singkat dan juga tidak mengena dalam pelajaran berbahasa dan
sastra Indonesia. LKS lebih cenderung bersifat mengerjakan soal-soal
saja yang membuat bosan siswanya. Inilah yang kemudian akan memupuk
sifat menganggap remeh pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia karena
materi yang diajarkan hanya itu-itu saja. Kelak setelah lulus SD dan
melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia dan
pengajaran membaca sastra masih tidak kunjung menunjukan perubahan
yang berarti. Bunga pun masih menjadi kuncup. Kelemahan proses KBM
yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai di SMP dan siswa
cenderung banyak yang memilih melanjutkan pendidikannya ke SMK,
dikarenakan di SMK banyak diajarkan ketrampilan yang lebih luas
daripada hanya diajarkan teori saja. Maka dibutuhkan sekali banyak
perubahan untuk itu, baik dari aspek guru, siswa, dan sarana
penunjang lainnya yang berkaitan dengan sastra dan buku pedoman
sastra bagi tenaga pengajar yang akan mendidik dan mengentaskan siswa
dari masalah minat baca yang kurang terhadap sastra.
- Saran
1. Pemberian
Motivasi dan Peningkatan Membaca Sastra..
2. Adanya
pemahaman dari guru bahwa ” peserta didik adalah simbol ”.
Penyelarasan dan penyeragaman akan melunturkan simbol keaktifan siswa
tersebut.
3. Dunia
siswa adalah dunia bermain, seharusnya materi pelajaran banyak
disajikan melalui permainan dan tidak bersifat memaksakan.
4. Memilih
strategi pembelajaran yang mampu merangsang keterlibatan siswa secara
aktif.
5. Guru
harus memiliki kecerdasan Ganda (Multiple
Intelligences)
6. Selain
pembelajaran dikelas, sekolah juga harus mengenalkan siswa pada dunia
kebahasaan dan teknologi di laboraturium kebahasaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abrams,
M.H.1971. A
Glossary of Literary Terms.
New York: Rinehart and Winston.
Hardjana,
Andre. 1981. Kritik
Sastra Sebuah Pengantar.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Hoerip,
Satyagraha (ed). 1982. Sejumlah
Masalah Sastra.
Jakarta:
Sinar Harapan.
Brouwer,
M.A.W. 1984. Psikologi
Fenomenologis.Jakarta:
Gramedia.
Teeuw, A.
1983. Membaca
dan Menilai Sastra.
Jakarta: Gramedia.
Luxemburg, Jan
Van. 1984. Pengantar
Ilmu Sastra.
Jakarta: Gramedia.
Tarigan; Henry
Guntur. 1978b. Prinsip-prinsip
Dasar Fiksi. Bandung:
FKSS – IKIP.
0 comments:
Post a Comment