• Pages

      Saturday, November 2, 2013

      PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA



      (Problematika Minat Baca Pada Anak Dalam Bidang Sastra)


      Abstrak:
      Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra anak mulai dikenalkan di tingkat Sekolah Dasar sejak kelas 1. Seperti diibaratkan bagaikan kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya. Mereka memulai dari awal dan masih apa adanya. Pada fase tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra anak hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar dan ilustrasi yang nampak disekelilingnya. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan.Tidak ada hasil yang nyata dan relevan dalam pembelajaran. Seakan-akan hanya monoton seperti itu terus.
      Kata Kunci: Pembelajaran membaca, monoton, tidak ada hasil.

      PENDAHULUAN

      1. Latar Belakang Masalah  
      Wujud Pendidikan Kita. Berbagai sinyalemen, dugaan, dan fakta menyatakan bahwa mutu pendidikan dan pembelajaran di Indonesia rendah, bahkan sangat rendah. Data Human Development Index (HDI) tahun 1999 s.d. 2001 menempatkan Indonesia pada posisi 105 s.d. 109 di antara 175 negara jauh di bawah tiga negara tetangga Indonesia.  Hasil survai Political and Economic Rick Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong menunjukkan bahwa di antara 12 negara yang disurvai, sistem dan mutu pendidikan Indonesia menempati urutan 12 di bawah Vietnam (Tim BBE, 2001)
      Dalam dunia pendidikan, pembelajaran membaca terutama membaca bacaan sastra anak ditujukan agar siswa mampu mengorganisasikan intelektualnya dalam berpikir dan berpengetahuan luas dalam mengolah kata-katanya dengan baik, sehingga dapat menjadi acuan dalam menuangkan keinginan, gagasan, ide, inspirasi, berpengetahuan luas yang dimiliki dalam bentuk lisan / ucapan dan dapat dituangkan dalam bentuk tulisan, namun tampaknya belum bisa terwujud sepenuhnya karena minimnya minat baca pada anak. Terutama membaca sastra. Mengajar; kerapkali guru mengajar kepada siswanya khususnya pembelajaran membaca tidak memahami karakteristik siswanya dalam pengolahan kata-kata, adanya buku pegangan guru tentang sastra anak, tetapi tidak diajarkan secara maksimal, padahal dunia sastra anak tersebut banyak manfaatnya. Buku sastra anak dapat juga dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan pembelajaran. Buku sastra anak yang menjadi pegangan guru tersebut tidak ajarkan secara maksimal dikarenakan terkadang guru lebih suka mengajarkan pelajaran berbahasanya saja, dan minat menyalurkan sastra kepada siswa kurang. Inilah cermin guru-guru di Indonesia yang masih terkadang belum menunjukkan sikap profesionalitasnya saat mengajar. Berperilaku; inilah yang membuat pandangan murid menjadi rendah terhadap pelajaran membaca, pembelajaran membaca sastra tidak pernah menemukan ruang pengajaran yang berarti selama ini dikarenakan aspek yang mendasar pada pembelajarannya.
      Dapat dicermati dalam hasil penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan di Indonesia (BSNP) selama sepuluh tahun terakhir ini juga menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia kurang. Siswa-siswa Indonesia tergolong rendah dalam minat bacanya. Berbagai sinyalemen dan dugaan banyak kalangan yang juga relatif senada. Jika semua dugaan dan data tersebut cermat dan benar, hal ini merupakan isyarat keterpurukan mutu pendidikan khususnya mutu pembelajaran Indonesia; isyarat rendahnya mutu dan prestasi pembelajaran di Indonesia. Rendahnya kualitas pendidikan khususnya pembelajaran di Indonesia merupakan cerminan buram akan kurangnya kualitas, tanpa bermaksud mencaci guru atau menghujat murid, semua harus dianalisis kekuranganya dan dicarikan solusi yang tepat.
      2. Permasalahan
      a. Apa sajakah yang menjadi kendala dan problematika pembelajaran membaca pada anak
      dalam bidang sastra?
      b. Bagaimanakah solusi dari kendala permasalahan tersebut?

      PEMBAHASAN


      Selama ini pengajaran membaca sastra di sekolah cenderung konvesional dan tak lagi dapat diandalkan untuk pembelajaran pada anak. Pelajaran membaca sastra hanya diajarkan dalam bentuk skimming dan scanning sehingga pemahaman membaca anak sangat buruk dan sering lupa akan bacaan yang telah dibacanya. Padahal penerapan membaca cepat dan sepintas tersebut disinyalir tidak efektif diajarkan pada anak. Jika pengajaran membaca cepat dan sepintas tersebut terus diajarkan ke siswa, akan berdampak lebih buruk lagi. Pengajaran membaca anak seharusnya diajarkan dengan penuh riang dan tidak ada unsur pemaksaan, karena sastra itu bersitat fleksibel / santai sehingga membuat anak merasakan tertarik untuk lebih mendalami sastra kelak dikemudian hari. Pola semacam itu jika diterapkan terus saat proses belajar mengajar hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa Indonesia dan sastra. Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain.
      Dalam masalah ini, saya menyoroti bahwa adanya metode pengajaran bahasa yang telah gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para siswa dalam berbahasa dan membaca. Hal ini disebabkan karena pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan untuk melatih kebiasaan berbahasa dan membaca para siswa itu sendiri.
      Pembelajaran membaca sastra; hanya sebatas kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya. Pelajaran Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat Sekolah Dasar sejak kelas 1. Bagaikan kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya. Mereka memulai dari awal dan masih apa adanya. Pada fase tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra anak hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar dan ilustrasi yang nampak disekelilingnya. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan.Tidak ada hasil yang nyata dan relevan dalam pembelajaran. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar dan mendalami dunia sastra Indonesia.
      Kelak setelah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia dan pengajaran membaca sastra masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Bunga pun masih menjadi kuncup. Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai di SMP dan siswa cenderung banyak yang memilih melanjutkan pendidikannya ke SMK, dikarenakan di SMK banyak diajarkan ketrampilan yang lebih luas daripada hanya diajarkan teori saja.
      Membaca sastra dan wawasan kepenyairan?
      Hal terpokok dari sebuah pembelajaran bahasa dan sastra anak disertai kepenyairannya akan terlihat dari aspek yang diajarkan oleh gurunya. Sasta anak yang lebih digemari adalah dongeng dan puisi. Mereka lebih memilih dongeng dan puisi dikarenakan lebih menarik untuk dibaca dan membuat mereka bisa merasakan senang dan tidak membuat mereka tertekan. Menurut Andre Hardjana (1981: 45) proses penciptaan sebuah sajak dalam puisi pada hakikatnya adalah proses penyempurnaan pengalaman puitik penyairnya. Keterkaitan antara membaca sastra dan wawasan kepenyairan adalah dari sudut pandang nuansa yang fleksibel dan tidak ada unsur pemaksaan serta bertujuan untuk menghibur dan menciptakan suasana hidup di dalam pembelajaran. Jika kepenyairan itu sendiri dijabarkan pada sastra anak, maka pengetahuan anak terhadap penyair-penyair Indonesia semakin paham, pada masa apakah penyair tersebut terkenal dan tahun berapakah puisinya dapat terkenal. Anak akan lebih tahu akan pentingnya belajar membaca sastra sejak masih anak-anak.


      SOLUSI :
      Apabila berbagai permasalahan tersebut dianalisis maka dapat ditarik benang merah bahwa permasalan minat baca pada anak dalam bidang sastra disebabkan oleh faktor seputar guru, yang membuat para siswa menjadi bosan saat pembelajaran karena pembelajarannya monoton dan tidak efektif. Maka dari berbagai masalah tesebut dapat ditarik beberapa solusi antara lain:
      1. Memberikan Motivasi dan Budaya Membaca
      Tidak adanya antusiasme yang tinggi, telah membuat pelajaran ini menjadi pelajaran yang kalah penting dibanding dengan pelajaran lain. Minat siswa baik yang menyangkut minat baca, maupun minat untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia semakin tampak menurun. Padahal, bila kebiasaan membaca sukses diterapkan sejak awal maka seharusnya saat melangkah ke jenjang selanjutnya, siswa telah dapat mengungkapkan gagasan dan dasar pemikiran dalam membaca. Pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn sehari-hari dan guru dapat membimbing para siswa terampil memilih bacaan maka harus pula dijelaskan bahwa pada dasarnya bacaan itu terdiri atas:
      1. bacaan ilmiah.
      2. bacaan sastra
      Khusus mengenai bacaan sastra, sang guru terlebih dahulu harus mengetahui prinsip-prinsip dasar sastra, agar dia dapat memberi bimbingan yang tepat guna; antara lain:
      1. tujuan pengajaran sastra,
      2. pengembangan apresiasi sastra,
      3. kriteria kualitas sastra anak-anak.
      Kriteria masalah ini akan dibicarakan secara singkat dan mengenai tujuan pengajaran
      sastra pada tingkat Sekolah Dasar, pada prinsipnya harus mencakup empat hal yaitu:
      1. memperkaya pribadi,
      2. mengembangkan pandangan dan pengertian,
      3. menyebarluaskan kebudayaan,
      4. memupuk serta meningkatkan apresiasi membaca.
      (Greene & Petty, 1971 : 503).
      2. Pemilihan sendiri bahan bacaan
      Dari segi para siswa, pemilihan sendiri bahan bacaan ini sampai batas tertentu secara a
      priori dibatasi oleh kenyataan bahwa sang guru atau beberapa ahli sebelumnya telah memiliki beberapa buah buku dari antara sejumlah buku yang tersedia. Banyak siswa yang menganggap bahwa pemilihan sendiri bahan bacaan adalah solusi jitu untuk mengurangi kejenuhan saat berada di dalam kelas melalui media bacaan. (Spache 1969).

      1. Dunia siswa adalah dunia bermain, seharusnya materi pelajaran banyak disajikan melalui permainan.
      Paradigma ini akan memaduakan anatara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan Kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan lainya. Dari perpaduan kecerdasan tersebut, siswa akan menjadi lebih berkembang dalam berpikir.


      1. Mengenal siswa.
      Anak bukanlah bejana yang serba sama yang harus diisi dengan minuman atau zat lain. Agar pelajaran berhasil dengan baik tiap anak harus mendapat perhatian dan bantuan (Nasution 1997 : 122-123). Guru harus mampu mengenal siswanya. Dengan mengenal siswa maka guru akan lebih memahami latar belakang dan kesulitan yang dihadapi oleh siswa sehubungan pemberian solusi sesuai dengan kebutuhannya.
      1. Memberi makna terhadap pelajaran.
      Merencanakan dengan jelas apa yang akan dilakukan oleh guru sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar. Tetapi bukan berarti guru menjadi kaku dalam pelaksanaanya (Underwood 2000:39). Adanya perencanaan membantu guru untuk mempermudah dalam mengarahkan kegiatan pembelajaran. Seorang guru harus dapat meyakitkan siswa apa manfaat yang dapat mereka peroleh setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut.
      1. Memberi motivasi yang kuat pada siswa.
      Pemberian motivasi sangat berpengaruh pada mental siswa. Kata-kata “bagus”atau “benar”atau”kamu pintar” bahkan anggukan kepala akan jauh memberi dorongan daripada sebuah nilai (Underwood 2000: 54). Selain kata-kata di atas adanya sebuah komentar walaupun sedikit mampu menunjukkan bahwa guru menaruh perhatian pada hasil kerja siswa.
      1. Penumbuhan kecerdasan ganda (Multiple Intelligences) pada diri guru.
      Salah satu usaha  yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru bahasa Indonesia adalah dengan cara mengembangkan kecerdasan ganda yang telah dicetuskan  Howard Gardner.  Gardner mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan memecahkan persoalan dan menghasilkan produk baru dalam suatu latar yang  bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (1983;1993).
      Kualitas guru dapat ditinjau dari dua segi, dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses guru dikatakan berhasil apabila mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial daam proses pembelajaran. Di samping itu, dapat dilihat dari gairah dan semangat mengajarnya, serta adanya percaya diri. 

      Adapun dari segi hasil, guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku sebagian besar peserta didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik (Usman, 2006). Hal itu sesuai dengan UU Guru dan Dosen  Bab IV Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
      Kecerdasan ganda berperan penting dalam keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam dunia pembelajaran dituntut dapat memahami dan mengembangkan kecerdasan ganda sebagai bekal untuk meningkatkan kualitas  dalam pembelajaran.
      Kualitas guru bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan dirasakan masih banyak yang belum memenuhi standar. Parameter profesi bagi seorang guru  yang  sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 adalah  guru wajib memiliki loyalitas dan dedikasi, kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, tanggung jawab, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
      1. Mengajaran sastra pada anak
      Tujuan mengajarkan sastra pada anak antara lain adalah untuk meningkatkan apresiasi
      sastra dan dengan demikian memungkinkan para siswa menikmatinya dengan lebih mantap
      dan lebih mesra. Apresiasi sastra dapat dikembangkan melalui membaca nyaring dan membaca dalam hati, menyimak serta mendiskusikan cerita-cerita dan buku-buku. Agar tujuan pengajaran sastra tercapai maka sang guru harus membimbing para siswa memilih serta membaca buku-buku yang bernilai serta sesuai dengan tingkat kemampuan membaca mereka.


      9. Meningkatkan apresiasi sastra pada anak
      Agar kita dapat mengembangkan serta meningkatkan apresiasi sastra para siswa, maka kita harus meningkatkan sejumlah keterampilan. Daftar keterampilan berikut ini dapat dipergunakan sebagai dasar bagi perencanaan kurikulum sastra di Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan.
      1. Memahami tipe-tipe sastra,
        1. Membedakan prosa dari puisi.
        2. Membedakan fiksi dari non-fiksi
        3. Mengenalkan cerita rakyat, fabel, mite.
        4. Mengenalkan fiksi realistis.
        5. Mengenalkan fiksi historis.
        6. Mengenalkan fantasi.

      B. Memahami komponen-komponen fiksi:
      a. Mengenalkan struktur plot (alur).
      b. Mengenalkan klimaks cerita
      c. Mengenalkan gambaran dan perkembangan tokoh.
      d. Mengenalkan tema cerita.
      e. Mengenalkan latar.
      f. Melukiskan gaya bahasa pengarang.
      g. Mengenalkan sudut pandang (point of view).

      C. Memahami komponen-komponen puisi:
      a. Menentukan maksud pengarang.
      b. Mengevaluasi latar.
      c. Mengevaluasi alur.
      d. Mengevaluasi penokohan, karakterisasi.
      e. Mengevaluasi gaya penulisan.
      f. Mengevaluasi pandangan.
      g. Mengevaluasi tema (Harlin, 1980 : 412, cf. Huck & Kuhn, 1968 : 688 91).


      10. Mengajarkan untuk mengarahkan diri sendiri
      Guru harus bisa mengajarkan para siswanya untuk mengarahkan dirinya sendiri, dikarenakan mengarahkan diri sendiri itu siswa akan mengerti kerumitan sesuatu tugas serta menaksir atau memperkirakan waktu dan upaya yang diperlukan untuk menyelesaikannya secara tuntas. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan akhir dari pendidikan dan pengajaran, termasuk pengajaran keterampilan membaca ini, agar para siswa dapat berdiri sendiri, dapat mengarahkan dirinya sendiri dengan tepat guna.
      Pada tingkatan kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar upaya diarahkan pada kegiatan belajar untuk menjelaskan, memusatkan perhatian pada, serta menyelesaikan sesuatu tugas. Pada tingkat ini para siswa memperoleh bimbingan dasar yang penting dari sang guru. Pada tingkatan kelas 5 dan 6, para siswa sudah bekerja secara berdikari, berdiri sendiri dalam menilai kerumitan sesuatu tugas serta memperkirakan waktu kerja yang dibutuhkan. Para siswa sudah dapat kita katakan berdiri sendiri bila mereka sudah dapat mengarahkan dirinya sendiri dalam hal-hal berikut ini.
      a. Memilih buku-buku yang sesuai dengan kemampuan membaca berdikari dan memperhalus
      keotomatisan.
      b. Mengatur serta menyesuaikan kecepatan membaca dengan tujuan yang hendak dicapai.
      c. Memberi responsi secara berdikari kepada petunjuk-petunjuk tertulis dalam suatu tugas.
      d. Memperagakan pengarahan diri sendiri dengan:
      1. mendapatkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan secara berdikari, dan
      2. menata serta mengatur waktu secara berdikari untuk menyelesaikan sesuatu tugas
      dalam masa yang telah tersedia.
      e. Memanfaatkan fasilitas-fasilitas perpustakaan secara berdikari yang sesuai dengan maksud
      dan tujuan pribadi. (Otto & Chester, 1976, 1976 : 166).


      C. PENUTUP

      1. Simpulan
      Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mulai dikenalkan di tingkat Sekolah Dasar sejak kelas 1. Seperti diibaratkan bagaikan kuncup bunga yang akan mekar dan menampakkan keindahannya. Mereka memulai dari awal dan masih apa adanya. Pada fase tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia dan sastra anak hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar dan ilustrasi yang nampak disekelilingnya. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan.Tidak ada hasil yang nyata dan relevan dalam pembelajaran. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya buku LKS yang menjadi buku wajib bagi siswanya. Sementara isi dari materinya terlalu singkat dan juga tidak mengena dalam pelajaran berbahasa dan sastra Indonesia. LKS lebih cenderung bersifat mengerjakan soal-soal saja yang membuat bosan siswanya. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja. Kelak setelah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia dan pengajaran membaca sastra masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Bunga pun masih menjadi kuncup. Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai di SMP dan siswa cenderung banyak yang memilih melanjutkan pendidikannya ke SMK, dikarenakan di SMK banyak diajarkan ketrampilan yang lebih luas daripada hanya diajarkan teori saja. Maka dibutuhkan sekali banyak perubahan untuk itu, baik dari aspek guru, siswa, dan sarana penunjang lainnya yang berkaitan dengan sastra dan buku pedoman sastra bagi tenaga pengajar yang akan mendidik dan mengentaskan siswa dari masalah minat baca yang kurang terhadap sastra.

      1. Saran
      1. Pemberian Motivasi dan Peningkatan Membaca Sastra..
      2. Adanya pemahaman dari guru bahwa ” peserta didik adalah simbol ”. Penyelarasan dan penyeragaman akan melunturkan simbol keaktifan siswa tersebut.
      3. Dunia siswa adalah dunia bermain, seharusnya materi pelajaran banyak disajikan melalui permainan dan tidak bersifat memaksakan.
      4. Memilih strategi pembelajaran yang mampu merangsang keterlibatan siswa secara aktif.
      5. Guru harus memiliki kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences)
      6. Selain pembelajaran dikelas, sekolah juga harus mengenalkan siswa pada dunia kebahasaan dan teknologi di laboraturium kebahasaan.



      DAFTAR PUSTAKA

      Abrams, M.H.1971. A Glossary of Literary Terms. New York: Rinehart and Winston.
      Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Jaya.
      Hoerip, Satyagraha (ed). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
      Brouwer, M.A.W. 1984. Psikologi Fenomenologis.Jakarta: Gramedia.
      Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
      Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
      Tarigan; Henry Guntur. 1978b. Prinsip-prinsip Dasar Fiksi. Bandung: FKSS – IKIP.


      0 comments:

      Post a Comment

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news